Jakarta,ruangenergi.com-Seharusnya harga gas untuk industri petrokimia (petkim) yang menjadikan gas sebagai bahan baku atau bukan bahan bakar, maka harga jual gasnya harus dalam bentuk formula yang dikaitkn dengan harga jual produk.
Sehingga saat harga produk tinggi, seperti misalnya saat harga ammonia di atas US$ 1.000/ton, maka industri membayar harga gas diatas US$ 11/mmbtu. Akibatnya, upstream (hulu migas) pun memperoleh windfall.
Sebaliknya, saat harga produk rendah, industri petkim tidak tutup, industri masih mampu membayar harga gas sesuai dengan formula.
“Untuk mnjaga keekonomian lapangan, formula ditetapkan dengan memberlakukan baseline atau floor sesuai dengan keekonomian lapangan.Kenapa kalau jual lng dibuat menggunakan formula, sehingga meskipun saat harga crude usd 40/bbl, maka harga jual LNG sekitar usd 4,8/mmbtu yang setelah dikurangi biaya liquifaksi maka harga net back gas kurang dari usd 4/mmbtu,”kata Praktisi Migas Haposan Napitupulu dalam bincang santai virtual bersama ruangenergi.com, Selasa (21/03/2023) di Jakarta.
Dengan harga jual export gas yang dibuat dalam bentuk LNG kurang dari usd 4/mmbtu, lanjut Haposan, maka pemerintah dan upstream nggak pernah ribut.
Dalam catatan ruangenergi.com, Indonesia Gas Society (IGS) mengusulkan kenaikan harga gas industri dalam skema harga gas bumi tertentu (HGBT) dari sebesar 6 dollar AS per MMBTU ke angka lebih tinggi.
Penyebabnya, target pemerintah dengan pemberlakuan HGBT tersebut belum tercapai walau aturan ini sudah berlaku dua tahun.
“Mungkin ada pertimbangan bagaimana harga 6 dollar AS per MMBTU dapat sedikit lebih tinggi sehingga harga tersebut bisa juga berpihak pada sektor hulu (migas). Pengorbanan pemerintah (di hulu) belum sebanding dengan manfaat yang dihasilkan pada sektor hilir,” kata Chairman Indonesia Gas Society, Aris Mulya Azof di acara Media Briefing IPA Convex 2023 Jakarta, Kamis (16/3/2023).
Menurut Aris, pemerintah sudah rela berkorban banyak dengan mengurangi bagiannya di sisi hulu demi terwujudnya HGBT. Namun dalam implementasinya, ternyata target pemerintah agar industri hilir bisa berkembang dan lebih banyak menyumbangkan penerimaan kepada negara dari sisi perpajakan justru tidak sepenuhnya tercapai.