Jakarta,ruangenergi.com-Indonesia tidak termasuk negara pengekspor gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) terbesar lagi di dunia. Gas yang ada digunakan untuk transisi energi sampai dengan 2060.
Gas bisa digunakan sebagai bahan baku petrokimia. Jadi masih besar demand gas untuk dalam negeri. Energi Gas meningkat sebagai agen transisi energi.Meskipun kebutuhan migas secara persentase menurun namun secara volume kebutuhan migas makin membesar.Transisi energi menuju era energi baru dan ramah lingkungan terlihat dari persentase bauran energi dari EBT yang semakin meningkat setiap tahunnya
“Indonesia tidak termasuk negara pengekspor LNG terbesar lagi.. Kita masih perlu gas untuk energi transisi sampai dengan 2060. Gas bisa digunakan bahan baku petrokimia. Jadi masih besar demand gas untuk dalam negeri..” kata Sekretaris SKK Migas Taslim Yunus kepada ruangenergi.com,Kamis (03/02/2022) di Jakarta.
Taslim menanggapi ketika ditanya reaksi SKK Migas atas adanya berita bahwa Austria, Denmark, Swedia, dan Belanda mendesak Uni Eropa untuk tidak melabeli proyek energi gas sebagai investasi hijau.
Ramai diberitakan bahwa saat ini, Brussel berupaya menyelesaikan aturan mengenai energi gas masuk dalam energi berkelanjutan atau tidak.Akhir tahun lalu, Komisi Eropa menyusun rencana untuk melabeli gas dan energi nuklir sebagai investasi hijau. Namun, rencana tersebut memecah Uni Eropa karena mereka tidak setuju tentang bagaimana bahan bakar harus berkontribusi ke energi bersih.
“Kurangnya bukti ilmiah untuk memasukkan gas fosil ke dalam klasifikasi energi berkelanjutan memaksa Komisi Eropa mempertimbangkan ulang proposal itu,” menurut keterangan bersama Austria, Denmark, Swedia,dan Belanda.
Investasi gas tidak boleh diberi label hijau kecuali dapat mengeluarkan kurang dari 100 gram karbondioksida per kilowatt jam, kata negara-negara tersebut.
Hal Itu sejalan dengan rekomendasi yang dibuat minggu lalu oleh penasihat ahli Uni Eropa tentang aturan. Negara-negara Eropa sedang menunggu proposal akhir Komisi, yang dikatakan akan segera diterbitkan, tanpa memberikan tanggal. Setelah diterbitkan, mayoritas Parlemen Eropa atau negara anggota Uni Eropa 20 negara dapat memblokir aturan tersebut.
Aturan gas dan nuklir telah tertunda lebih dari satu tahun, di tengah ketidaksepakatan yang mendalam. Beberapa negara Eropa, di antaranya Polandia dan Republik Ceko, melihat gas dan nuklir sebagai hal penting untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil paling kotor yaitu batu bara. Negara-negara Eropa yang tidak setuju mengaku khawatir terkait pembuangan limbah nuklir yang aman.
Gas menghasilkan kira-kira setengah dari emisi CO2 batu bara ketika dibakar di pembangkit listrik. Infrastruktur gas juga dikaitkan dengan emisi metana dan gas rumah kaca.