Presiden Korsel

Investasi Batubara di Indonesia Berada Di Ujung Tanduk

Jakarta, Ruangenergi.com – Keputusan Korea Selatan pada Biden Leaders’ Summit on Climate untuk mengakhiri pendanaan batubara di luar negeri membuat nasib investasi proyek batubara di Indonesia berada di ujung tanduk.

Selain itu, Korsel juga memberikan himbauan untuk mempertimbangkan ulang rencana ekspansi batubara saat ini.

Sebagai salah satu investor proyek batu bara terbesar di Indonesia, Korsel, menegaskan akan mengakhiri pendanaan proyek batubara, sesuai deklarasi Presiden Korea Selatan Moon Jae-in untuk menghentikan investasi publik batubara di luar negeri Korea pada Biden Leaders’ Summit on Climate yang diinisiasi oleh Amerika Serikat.

Korea Selatan menjadi salah satu dari tiga investor terbesar di dunia dalam mendanai proyek batubara di luar negeri, setelah China dan Jepang.

Namun, baru-baru ini, pemerintah Korea Selatan mendapat kecaman karena mendorong Kesepakatan Hijau (Green New Deal) di dalam negeri sedangkan lembaga publiknya, seperti Bank Ekspor-Impor Korea (KEXIM), Bank Pembangunan Korea (KDB), dan Perusahaan Asuransi Perdagangan Korea (K-SURE), mendukung Jawa 9, 10 proyek pembangkit listrik tenaga batubara (PLTU) di Provinsi Banten, Indonesia.

Proyek tersebut diprediksi akan menghasilkan rata-rata 10 juta ton karbon dioksida per tahun, atau 250 juta ton CO2 selama 25 tahun, jumlah ini setara dengan emisi nasional tahunan Thailand atau Spanyol.

Mengenai larangan investasi ekspor batu bara di luar negeri Korea, Sejong Youn, Direktur Program Pembiayaan Iklim dari lembaga Solutions for Our Climate yang berbasis di Seoul, Sejong Youn, mengatakan moratorium Korea untuk pendanaan batu bara di luar negeri menandai hampir berakhirnya pinjaman lunak bagi proyek pembangkit listrik batubara di Indonesia.

“Pemerintah Indonesia harus secara serius mempertimbangkan kembali rencana ekspansi PLTU, sebab saat ini pembangunan PLTU menjadi kurang layak secara finansial. Mumpung pembangunan proyek PLTU Jawa 9, 10 masih pada tahap paling awal, pemerintah Korea dan Indonesia harus bekerja sama untuk mengalihkan proyek ini menjadi proyek energi terbarukan, yang akan menguntungkan kedua negara sehingga selaras dengan tujuan iklim,” katanya.

Hengkangnya Korea dari arena investasi proyek batubara akan sangat berpengaruh besar pada emisi domestik dan rencana pembangunan PLTU di Indonesia.

Menurut, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, dampak buruk perubahan iklim juga terlihat jelas melalui banjir dan badai Siklon Seroja yang melanda Nusa Tenggara Timur baru-baru ini.

“Kami melihat telah terjadi peningkatan bencana iklim yang meluluhlantakkan berbagai tempat dan membawa kerugian bagi banyak orang terdampak. Menghindari krisis iklim adalah suatu keharusan dan oleh karena itu Indonesia harus meningkatkan ambisi iklimnya untuk mencapai emisi netral karbon pada tahun 2050,” tuturnya.

Batubara

“Tidak ada PLTU baru setelah 2025 dan penutupan PLTU secara bertahap di Indonesia harus segera dimulai serta akselerasi pengembangan energi terbarukan harus terwujud. Dengan keluarnya Korea Selatan dari investasi ekspor proyek batubara, dan Jepang yang masih mempertimbangkannya, maka hanya China yang akan
tersisa sebagai salah satu investor batubara luar negeri terbesar di Indonesia. Berakhirnya pendanaan batubara internasional dari Korea Selatan, Jepang, dan China akan mendorong langkah-langkah untuk lepas dari ketergantungan batubara dan
mempercepat pengembangan energi terbarukan,” sambungnya.

Ia menjelaskan, Jepang, sebagai salah satu investor besar dalam proyek batubara di Indonesia, pada KTT ini mengumumkan target pengurangan emisi domestik sebesar 46% di tahun 2030, di bawah target di tahun 2013, hanya saja, sayangnya, tidak mengumumkan moratorium pembiayaan batubara luar negeri.

Sebelumnya, terdapat ekspektasi tinggi bagi Jepang untuk melarang
pembiayaan ekspor batubara pada KTT ini mengingat tahun lalu Jepang telah mengumumkan pembatasan pendanaan batubara luar negeri.

Sementara, Peneliti Tim Keuangan Publik dan Lingkungan di Friends of the Earth Jepang, Hozue Hatae, mengaku kecewa kepada pemerintah Jepang, lantaran bum mengumumkan moratorium.

“Kami sangat kecewa bahwa pemerintah Jepang belum mengumumkan moratorium pendanaan batubara luar negeri, tidak seperti pemerintah Korea Selatan. Jepang memiliki tanggung jawab yang besar di Indonesia dalam hal keadilan iklim, karena secara konsisten, terus mendanai konstruksi PLTU di Cirebon 2, Batang dan Tanjung Jati B (Unit 5 dan 6) untuk menambah 5.000 MW di Jawa,” katanya.

“Jika investasi publik Jepang masih berencana untuk mendukung PLTU Indramayu di Jawa Barat maka Deklarasi Netral Karbon 2050 Oktober lalu hanyalah sebuah pertunjukan tanpa realisasi. Kami menuntut pemerintah Jepang untuk segera mengambil tindakan nyata untuk menghentikan semua dukungan bagi pembangkit batubara di luar negeri,” tukasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *