Investasi Migas Terganjal Regulasi

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta,ruangenergi.com-Kepala Badan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan, investasi di sektor migas masih terganjal berbagai regulasi.

Hal itu salah satu yang menyebabkan hengkangnya para perusahaan besar migas dari dalam negeri.

“Diskusi terkait migas masih sangat ramai. Pertanyaannya apakah era minyak sudah berakhir dan kedepan adalah era renewable energy?,” jelasnya dalam sebuah diskusi online yang dihelat Ikastara, Rabu, 28 Juli 2020, malam.

Ia mengungkapkan, sejak 20 tahun yang lalu, banyak yang mengatakan cadangan minyak akan habis 10 tahun mendatang. Tetapi setelah 10 tahun kemudian, di prediksi akan habis 10 tahun kedepan.

“Persoalan seperti ini kan sebenarnya terletak hanya pada teknologi yang digunakan oleh perusahaan eksplorasi dan produksi migas tersebut.Kadang-kadang cara kita melihat kontribusi minyak itu dalam prespektif yang sempit.Saya ingin meng-quote Pak Budiono, ketika beliau menulis tentang perekonomian Indonesia, bahwa minyak pernah menjadi berkah besar untuk Indonesia itu di tahun 1970-an. Pastinya pada tahun 1974 – 1980 an dan mungkin berakhir di tahun 1990 an,” sambungnya.

Ketika itu, lanjut Febrio Nathan, memasuki zaman orde baru, situasi menjadi krisis dan harga minyak menjadi naik 4 kali lipat. Bahkan beberapa tahun berikutnya harga minyak kembali mengalami kenaikan 2 kali lipat.

Atasi Dua Defisit

Dari berkah itu, Indonesia bisa mengatasi dua defisit sekaligus APBN dan defisit neraca perdagangan.

“Dua defisit itu bisa diatasi karena penerimaan dari ekspor minyak yang sangat tinggi. Dalam situasi seperti itu, karena APBN punya penerimaan yang banyak sumber untuk pembangunan infrastruktur dan lainnya, itulah yang menjadi berkah untuk Indonesia,” tuturnya.

“Yang ingin saya note, waktu itu produksi minyak kita sekitar 1,5 atau 1,6 juta barel per hari. Namun, sekarang hanya sekitar 700 ribu barel per hari, sangat jauh sekali produksinya hampir 50 persen,” sambung Nathan.

Ia menegaskan, jika dilihat dari penerimaan negara, semakin kesini kontribusinya dari minyak sudah tidak besar lagi seperti dulu.

“Saya termasuk orang yang percaya bahwa renewable energy memberikan double dividen untuk Negara,” katanya.

Teknologi dan Cost Recovery Migas

Sejak 20 tahun yang lalu, jelas Nathan, minyak akan habis 10 tahun mendatang. Namun, hingga sekarang cadangan minyak mash ada, dan mungkin 10 tahun mendatang akan habis.

“Karena ada kemajuan teknologi, cerita ini akan terus berkembang dan menjadi dinamika yang pada akhirnya bagaimana cara memainkan level of playing yang baik antara sumber-sumber energi itu,” imbuhnya.

Menurutnya, energi yang berasal dari minyak ada menghasilkan polusi. Inilah yang harus diatur dalam proses pembangunannya.

“Mengenai cost recovery, ini sejarah kami di Kementerian Keuangan. Tahun 2015 saya ditugaskan untuk melakukan kajian dengan menggunakan perspektif auditor akuntan. Ini yang membedakan, sebab auditor akuntan itu cara berfikirnya sederhana yakni karena melihat kontribusi sektor migas terhadap penerimaan negara dilihat dari kontribusi ke APBN dalam bentuk uang masuk dan uang keluar,” jelasnya.

Konsep PSC

Setelah baca membaca bahwa konsep Product Sharing Contract (PSC) itu datang dari Indonesia.

“PSC itu seperti konsep di kampung saya. Jadi, seperti misalnya kalau saya punya sawah di Purworejo, lalu saya di Jakarta, saya tidak punya kemampuan untuk menggarapnya, saya mempekerjakan orang Purworejo untuk menggarap sawah saya. Bagi hasilnya di belakang, ongkos-ongkosnya itu ditanggung yang garap, jadi, harusnya cost recovery mengganti ongkos itu,” kata Nathan.

Sama halnya dengan investasi di sektor migas, mengapa tidak kita yang menggarapnya. Karena investasi migas membutuhkan biaya besar, sehingga diputuskan untuk mendatangkan perusahaan-perusahaan besar migas untuk berinvestasi.

“Kita saya melakukan rioset pada 2015, pertanyaannya sederhana, bagaimana mungkin ketika produksi minyak turun, produksinya lebih sedikit, liftingnya lebih sedikit, kok, cost recovery naik atau ongkosnya lebih besar,” paparnya.

Ia menjelaskan, kalau dalam perspektif auditor hal itu tidak masuk akal. Kalau output nya semakin kecil, kenapa bisa ongkosnya semakin besar.

“Ilustrasi saja bahwa regulasi itu saking banyaknya membuat iklim usahanya sulit, sehingga investasi itu tidak masuk,” ungkapnya.

Kalau kita mau memperbaiki sektor migas sebetulnya banyak faktor, termasuk salah satunya, promosi renewable energy.

“Misalnya minyak di subsidi, kemudian mau promosi renewable energy, ya, pasti tidak akan kondusif. Kalau BBM-nya di subsidi dan nanti renewable di subsidi, pada akhirnya market nya itu rusak dan APBN nya menjadi susah, sebab APBN itu kan punya opportunity cost,” katanya.
Dirinya mengatakan, sejak 2004 sebetulnya keputusan untuk menghapus (remove) subsidi BBM sudah dilakukan oleh 10 fraksi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Tetapi setelah itu dinamikanya berubah dan menyebabkan tidak kondusif terhadap perekonomian.

“Apakah kebijakan fiskalnya mampu untuk membiayai proses transisi energi ?. Menurut saya tidak begitu, proses transisi itu, fiskalnya itu dia menjadi kontroversial. Jadi, instrumen kebijakan untuk menjaga keseimbangan yang ada tapi dalam situasi yang kondusif,” tandasnya.