Jakarta, Ruangenergi.com – Investasi pertambangan di Indonesia akan berjalan baik jika aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan atau environment, social, and governance (ESG) diimplementasikan secara serius.
Menurut Chairperson of Advisory Board Social Investment Indonesia Jalal,
sektor pertambangan dan ESG harus berhubungan dekat karena ke depan bukan hanya menyangkut dekarbonisasi sektor pertambangan, tetapi juga dekarbonisasi dunia.
Hal ini disampaikannya saat seminar nasional bertajuk “ESG: Adaptasi ESG melalui Dekarbonisasi dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati untuk Menyongsong Pertambangan Berkelanjutan” di Jakarta, Jumat.
“Riset Price Waterhouse Cooper (PwC) menyebut bahwa perusahaan di sektor pertambangan yang tidak serius dengan aspek ESG, akan berbeda sekali performa finansialnya dibandingkan dengan perusahaan yang serius dengan ESG,” ujarnya.
“Tidak bisa kita tidak serius dengan ESG. Kita butuh menaikkan banyak mineral dan logam dan persyaratannya dengan ESG. Para pemimpin perusahaan pertambangan harus belajar ESG dengan benar,” sambungnya.
Lebih jauh Jalal mengungkapkan kegiatan pertambangan jugq harus dilakukan ekstra hati-hati. Jangan sampai menyelamatkan manusia dari perubahan iklim, tapi justru membahayakan keanekaragaman hayati.
“Pelaporan standar yang paling populer yakni Global Reporting Initiative (GRI) sangat penting. Standar GRI ini di Indonesia sudah diterapkan banyak perusahaan. Namun, jika ingin ESG mendapat pengakuan global, mau tidak mau harus memperbaiki pelaporan,” paparnya.
Jalal pun memberi rekomendasi bagi pelaku usaha di sektor pertambangan untuk belajar keuangan berkelanjutan.
“Integrasi ESG jangan hanya ramai di mulut, bikin penilaian materialitas yang serius, isu ke depan akan sangat penting di antaranya dekarbonisasi dan keanekaragaman hayati perlu diperhatikan,” tukasnya.
Sementara Direktur SDGs Center Universitas Padjadjaran Prof Dr Zuzy Anna mengungkapkan bahwa kebutuhan ESG menjadi keniscayaan, terutama dalam pasar global karena investor lebih memilih investasi di perusahaan yang mengimplementasikan ESG dan mengikuti kriteria ESG.
“Lembaga keuangan tidak mau memberikan pinjaman atau modal kepada perusahaan yang mungkin terekspos tidak sesuai dengan standar ESG. Partner juga tidak ingin membeli barang dan jasa dari perusahaan yang tidak memiliki standar ESG,” ungkap dia.(SF)