Jakarta, ruangenergi.com- Sistem kontrak kerja sama bagi hasil (production sharing contract/PSC) hulu migas di Indonesia terus mengikuti dan beradaptasi terhadap zaman. Sehingga posisi, PSC cost recovery atau PSC gross split saat ini adalah pilihan. Dalam implementasinya, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Hal ini diungkapkan Vice President SKK Migas, A Rinto Pudyantoro, dalam kegiatan edukasi jurnalis media massa nasional yang diselenggarakan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) secara daring, Kamis (26/8).
“Permen ESDM No 12/2020 senafas dengan UU 22/2001 yang mengamanatkan model kerjasama dengan pola atau mekanisme boleh apa saja, yang penting mengoptimalkan kepentingan negara. Jadi model apapun yang ditawarkan sudah dijaga kepentingan negara dan sudah dihitung konsekuansinya,” ungkap Rinto dalam kegiatan tersebut yang mengusung tema “Production Sharing Contract (PSC) Cost Recovery (CR), PSC Gross Split (GS), Implementasi dan Kecenderungan Model Kontrak Migas Global”.
Lebih lanjut, dia menegaskan bahwa di sisi lain, Investor diberikan kesempatan untuk fitting dengan risiko menurut persepsi, kultur perusahaan dan karakteristik perusahaan mereka. Jadi sebagai salah satu faktor penentu untuk menarik investor, maka dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan bagi Negara”.
“Bagi kontraktor memilih model dan pola (PSC) yang paling menguntungkan secara bisnis akan dipengaruhi oleh cara pandang dan persepsi perusahaan terhadap peluang dan risiko bisnis (teknis dan non teknis) dan ekspektasi terhadap pelaksanaan kontrak,” tegas Rinto.
Sementara itu, Deputy Perencanaan SKK Migas, Benny Lubiantara menuturkan bahwa sistem kontrak hulu migas di dunia beragam. Untuk negara maju umumnya menggunakan sistem royalty dan tax, karena sistem perpajakannya sudah maju. Sementara untuk negara berkembang seperti Indonesia menggunakan PSC cost recovery.
“Indonesia adalah negara yang pertama kali memperkenalkan sistem PSC di tahun 1966 yang kemudian diduplikat oleh Malaysia, Vietnam, negara Timur Tengah serta Afrika,” ujar Benny yang menjabat sebagai Deputi Perencanaan SKK Migas.
PSC di Indonesia terus berkembang seiring perubahan regulasi dan perkembangan jaman sehingga PSC cost recovery terus mengalami perubahan. Kemudian di tahun 2017, PSC bertambah dengan adanya sistem gross split.
“Bagi investor ketika ditanyakan PSC apa yang diminati apakah cost recovery atau gross split, jawabannya adalah sistem mana yang memberikan keuntungan dalam investasinya, mana yang memberikan internal rate of return (IRR) paling baik. Sehingga di mata investor, kedua pola PSC itu adalah pilihan semata, mana yang paling mendukung target investasi mereka. Negara mana yang menawarkan insentif fiskal yang menarik akan lebih diminati oleh investor,” tegasnya.
Saat ini, tantangan industri hulu migas secara global mengalami tekanan yang semakin kuat. Pasalnya, semakin terbatas alokasi investasi international Oil Company (IOC) sehubungan dengan perhatian mereka pada renewable energy.
Tidak hanya itu, tambahan biaya operasional untuk mengakomodasi proyek low carbon serta target IRR yang semakin tinggi di masa mendatang bersaing dengan renewable energy yang umumnya mendapatkan berbagai macam insentif. Aspek komersial akan menjadi hal yang paling berpengaruh dibandingkan ketersediaan potensi migas, terlebih adanya energi transisi.
“Maka saat ini adalah kesempatan untuk segera melakukan monetisasi atas potensi migas dengan memberikan paket insentif yang menarik bagi investor,” pungkas Benny