Izinkan Pertamina Terus Jual Premium Cs, Ditjen Migas Langgar Undang-Undang

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin menilai, kebijakan pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Minyak dan Gas (Migas) Kementrian ESDM) yang masih membiarkan atau mengizinkan Pertamina menjual BBM tak ramah lingkungan seperti Premium Ron 88, Pertalite Ron 90,  Solar CN48, dan Dexlite CN51 melanggar aturan perundang-undangan, khususnya tentang lingkungan hidup dan kesehatan.

Menurut Ahmad, standar Euro IV yang ditetapkan lewat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2020 yang berlaku pada Oktober 2018 adalah amanat dari Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 huruf H, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

“Jika sudah ditetapkan menjadi Permen (Peraturan Menteri) P20 Tahun 2017 maka siapapun harus hormat. Dan Direktorat Jendral Migas harus mengubah spek-nya,” kata Ahmad dalam diskusi virtual YLKI, Jumat, (27/11/2020).

“Kalau spek-nya tidak sesuai, dan masih memperbolehkan Premium 88, Pertalite 90, Solar 48 dan juga Dexlite 51, yang masuk bahan bakar minyak tak ramah lingkungan maka itu sudah masuk bentuk pembangkangan terhadap regulasi,” tegasnya.

Ia menambahkan, turunnya Permen P-20 Tahun 2017 bukan merupakan arogansi Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK), namun sudah berproses cukup lama, yakni sejak 2012, setahun penuh, kemudian ditambah lagi vote setahun penuh di 2013, barulah kemudian pada Bulan Desember 2013 terjadi konstinasi dan koordinasi semua sektor bahwa Indonesia sepakat masuk ke Euro IV.

“Konsekuensinya adalah penggunaan BBM yang tidak memenuhi syarat untuk Kendaraan Berstandard Euro IV harus dihentikan,” ujarnya.

Ahmad juga mengatakan, Standar Euro IV yang ditetapkan lewat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2020 yang berlaku pada Oktober 2018 adalah amanat dari Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28H, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

“Konsekuensinya adalah penggunaan BBM yang tidak memenuhi syarat untuk Kendaraan Berstandard Euro IV harus dihentikan,” ujar Ahmad.

Bahkan selain Premium, lanjut dia, Pertalite RON 90, Solar CN48, dan Dexlite CN51 tidak memenuhi syarat kendaraan berstandar Euro II, apalagi untuk standar Euro IV, sehingga harus dihapus juga penggunaannya.

“Pertalite Ron 90 jelas tidak memenuhi syarat untuk program langit biru, jadi jangan sampai itu di sesatkan ke masyarakat, sampai masyarakat nanti berbondong-bondong membeli Pertalite 90 karena berfikiran akan membantu pemerintah dalam pengendalian pencemaran udara,” tukasnya.

Kritisi Program Langit Biru
Pihaknya juga mengkritisi program langit biru Pertamina yang memberi diskon harga Pertalite (Ron 90) menjadi setara Premium (Ron 88) di sejumlah daerah di kawasan Jawa, Madura dan Bali (Jamali).

Menurit dia, seharusnya Pertamina menurunkan harga Pertamax (Ron 92) yang lebih sesuai dengan standar Euro 4  agar masyarakat mau beralih ke BBM yang lebih ramah lingkungan. Padalnya, Pertalite sendiri kualitasnya hampir sama dengan Premium, yakni sama-sama merupakan BBM yang tak ramah lingkungan.

“Harapannya dari Premium masyarakat beralih ke Pertamax langsung. Jadi jangan turunkan harga Pertalite. Yang harus diturunkan justru Pertamax,” ujar Ahmad.

Ia mengungkapkan, lembaganya telah melakukan survei terkait hal ini. Menurutnya, pertimbangan masyarakat memilih Premium ketimbang Pertamax yakni dari segi harga yang lebih murah. Adapun faktor keamanan dan keawetan mesin cenderung diabaikan oleh masyarakat.

Ahmad juga mempertanyakan harga Pertamax (Ron 92) yang begitu mahal di Indonesia. Bahkan menurutnya, harga BBM setara Pertamax Turbo (Ron 95) di Malaysia, harganya lebih murah dari harga Pertamax (Ron 92) di Indonesia. Dari survei tersebut, ia juga mendapati bahwa preferensi harga bahan bakar yang sesuai bagi masyarakat adalah di kisaran Rp 5.000 hingga Rp 7.000 per liter.

“Karena kalau kita lihat harga pokok penjualan BBM di berbagai negara, itu kalau dijual dengan fiskal tertentu, kemudian di SPBU itu juga harganya pada kisaran itu (Rp5.000-Rp7.000 per liter). Saya berulang kali ngecek ya, di Malaysia yang di kisaran Rp 6.800 per liter untuk bahan bakar Euro IV dan di Australia pada kisaran Rp 7.500 per liter untuk Euro VI,” ungkapnya.

Ahmad pun meminta pemerintah membedah dan membuka secara transparan penyebab harga bahan bakar beroktan tinggi masih relatif tinggi di Tanah Air.

“Kenapa harga Premium Ron 88 harga pokok penjualannya sudah Rp 4.000 per liter? Sementara Malaysia untuk BBM yang setara Pertamax Turbo, itu harga pokok penjualannya itu hanya Rp 4.000. Tentu ini ada masalah persoalan seperti ini. Jadi pertama harus dibedah soal transparansi itu, jadi nanti kita bisa melihat juga yang memang bisa memenuhi preferensi dari masyarakat tersebut,” pungkasrya.(SF)