batubara

Jadi Pahlawan saat Krisis Energi, Energi Fosil Masih Dibutuhkan

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Meski penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) terus digenjot untuk menekan suhu bumi tidak melebih 2 derajat Celcius dan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), akan tetapi nyatanya energi yang berasal dari fosil masih menjadi primadona.

Pasalnya, krisis energi yang terjadi beberapa pekan lalu di belahan Eropa dan Asia lantaran penggunaan EBT yang bersifat intermitten, energi fosil dapat dikatakan menjadi solusi atas peristiwa tersebut.

Dalam diskusi online yang bertajuk “Indonesia Energy and Coal Business Summit”, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menilai energi fosil seperti migas dan batubara akan terus berkembang. Mengingat pemerintah memiliki target dalam industri migas yakni meningkatkan produksi nasional mencapai 1 Juta BOPD dan 12 BSCFD gas di 2030 mendatang.

Sementara untuk batubara, Mamit menyakini bahwa komoditas tersebut akan menjadi penopang di tengah tingginya harga gas bumi.

“Kita sudah mengarah ke EBT. Akan tetapi energi fosil tetap menjadi pilihan utama. Apalagi melihat krisis energi di Eropa, China dan India karena mereka beralih ke renewable energy (yang bersifat intermitten),” jelas Mamit.

Mamit menambahkan, Pemerintah telah menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 – 2030 yang disebut Green RUPTL. Di mana, dalam RUPTL tersebut pemerintah menaikkan porsi EBT lebih besar ketimbang energi fosil yakni EBT 51,4% dan fosil 48,6%.

Dapat dikatakan bahwa krisis energi yang terjadi di beberapa Negara beberapa waktu lalu menjadi pertanda bahwa transisi energi dari fosil ke EBT membutuhkan waktu cukup.

Misalnya Inggris, mereka memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dengan pembangkit berbahan bakar gas sebagai penopang. Namun tingginya harga gas menjadikan tarif dasar listrik negara itu melonjak dan mencetak sejarah baru di negara tersebut.

Lantas, pada akhirnya beberapa negara termasuk Inggris kembali mengoperasikan PLTU nya (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Tak terkecuali dengan China, negara yang memiliki PLTU terbanyak di dunia mulai beralih ke EBT untuk menurunkan emisi GRK. Hal ini menyebabkan negara tersebut mengalami keterbatasan pasokan energi.

“Energi fosil masih belum bisa ditinggalkan. Belum akan menuju ke arah sunset, tapi renewable energy, iya. Bagaimana kita menciptakan energi bersih, murah, mudah dan terjangkau,” ungkapnya.

Tak hanya itu, Mamit juga mengungkapkan bahwa teknologi energi surya (solar panel) yang mayoritas masih menggunakan produk impor.

Untuk itu, ia menegaskan rencana transisi energi harus memberikan peluang bagi industri lokal dalam menciptakan produk penopang EBT khususnya Panel Surya.

Ia beranggapan bahwa selama ini Indonesia telah menjadi salah satu negara pengimpor migas untuk menopang kebutuhannya. Transisi energi yang berlangsung jangan jadikan Indonesia sebagai pengimpor EBT.

“Saya kira aturan transisi energi ini sangat terburu-buru dan penuh tekanan. Kita hanya 3,% menyumbang emisi dunia. Tidak terlalu tinggi,” bebernya.

Mamit menambahkan, untuk itu perlu adanya kebijakan fiskal agar investasi untuk transisi ini tumbuh dengan baik. Beberapa di antaranya seperti untuk kebijakan mendukung investasi pada industri electric vehicle.

Hal yang sama juga diperlukan untuk energi baru terbarukan serta migas. Hingga kini UU EBT dan UU Migas belum juga diterbitkan. Padahal kebijakan ini diperlukan untuk memberikan kepastikan hukum bagi investor.

Strategi Pemerintah Agar Batubara Tetap Eksis

Dalam kesempatan yang sama, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba), Irwandy Arif, mengungkapkan bahwa Pemerintah telah menyiapkan sejumlah strategi agar batubara masih bisa tetap dimanfaatkan ke depannya. Meski begitu, tetap dengan memerhatikan isu emisi karbon yang dihasilkannya.

Pasalnya, batubara kini masih menjadi komoditas andalan Indonesia. Data BP Statistical Review 2021 menyebut bahwa RI merupakan pemilik cadangan batubara terbesar ketujuh di dunia mencapai 34,87 miliar ton, statusnya ini berlaku hingga akhir 2020.

Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM, status per Juli 2020, jumlah sumber daya batubara RI mencapai 148,7 miliar ton dan cadangan 39,56 miliar ton.

Adapun, strategi Pemerintah agar batubara tetap eksis di antaranya, hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME);

Ia menambahkan, meski saat ini hilirisasi batubara belum mencapai tahap komersial, khususnya gasifikasi batu bara, termasuk underground gasification, pencairan batu bara atau coal liquefaction, coal slurry atau coal water mixture.

“Investasi besar dan dukungan pada lingkungan, penurunan emisi masih jadi tantangan. Saat ini ada dua proyek gasifikasi di Indonesia sudah masuk PSN (Proyek Strategis Nasional). Coal to DME di Tanjung Enim PTBA, dan gasifikasi coal to methanol Kaltim BUMI Resources,” imbuhnya.

Untuk itu, ia mengharapkan dua proyek ini bisa operasi pada 2024 mendatang dan menjadi pionir gasifikasi. Saat ini tantangan yang dihadapi adalah dari penyedia teknologi.

“Mudah-mudahan bisa diselesaikan, bisa jadi nilai tambah. Total investasi asing yang masuk ke Indonesia US$ 2,1 miliar, kurangi impor LPG 1 juta ton, dan hemat devisa Rp 297 triliun, neraca dagang Rp 256 triliun, serap tenaga kerja 1.000 orang,” terang Irwandy.

Sementara, strategi lainnya yakni co-firing atau pencampuran energi baru terbarukan seperti biomassa di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU); dan pemanfaatan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS).

“Batubara masih merupakan sumber energi yang ekonomis jika dibandingkan dengan energi terbarukan saat ini di Indonesia,” katanya.

Dia menambahkan, Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement menyebut bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca 29% dengan upaya sendiri dan 41% bila ada bantuan internasional pada 2030.

“Dari target ini, sektor energi diharapkan bisa kontribusi turunkan emisi 314-398 juta ton CO2 melalui pengembangan energi terbarukan, pelaksanaan efisiensi energi, dan konservasi energi, serta melakukan penerapan energi bersih,” ujar Irwandy.

Komitmen ini sudah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia berkomitmen mewujudkan teknologi hijau bersih bagi industri sebagai sarana mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

“Hal ini dipertegas dalam COP26 bahwa Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat pada net zero emisi, tentunya kalau baca serta detail, ada kondisional ada persyaratan,” tutupnya.