Kasus LNG Mozambik, Pemerintah Salah Perhitungan

Jakarta, Ruangenergi.com – Gugatan Mozambique LNG1 Company Pte. Ltd (MLNGC) sebesar Rp 40 triliun terhadap PT Pertamina (Persero) atas tertundanya komitmen perjanjian jual beli (sale and purchase agreement, SPA) untuk pengiriman LNG sebesar 1 MTPA (million ton per annum) dalam jangka waktu 20 tahun sangat berpotensi membuat Pertamina rugi besar

Ironisnya, hal in terjadi akibat besarnya pengaruh Pemerintah dalam mengelola Pertamina dan bisnis migas nasional yang pengelolaannya tidak sesuai prinsip good corporate governance dan patut diduga bernuansa moral hazard, serta terkesan “ugal-ugalan” JB “semau gue”.

“Tuntutan tersebut sangat potensial menjadi tanggungan Pertamina. Karena itu perlu diidentifikasi penyebab dan siapa penanggungjawabnya,” kata Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara kepada Ruangenergi.com di Jakarta, Minggu (17/1/2020).

Persoalan ini sendiri bermula ketika pada Februari 2019 lalu Pertamina menandatangani perjanjian jual beli dengan Anadarko Petroleum Corporation untuk pembelian LNG dari Mozambique LNG1 Company Pte. Ltd (MLNGC). Kesepakatan berlaku untuk pengiriman LNG sebesar 1 MTPA (million ton per annum) dalam jangka waktu 20 tahun.

Belakangan, masalah muncul terutama karena harga gas dunia turun dan pasokan gas/LNG dalam negeri melimpah, sehingga serapan gas domestik, termasuk untuk diekspor, tidak maksimal. Di sisi lain, setelah berlangsung hampir setahun, Pertamina sendiri tak kunjung mengeksekusi SPA, meski telah berulang kali diingatkan MLNGC.

Dan pada akhirnya Menteri Energi Mozambik menulis surat kepada †untuk menagih komitmen Pertamina. Jika tidak, Pertamina akan dituntut membayar ganti rugi US$2,8 miliar (sekitar Rp 40 triliun).

Menurut Marwan, ada beberapa hal membuat pihak MLNGC menggugat Pertamina, diantaranya karena BUMN tersebut memang tidak meresponse balik atau mengkonfirmasi rencana pembelian kepada pihak penjual, sehingga wajar harus bertanggungjawab.

“Padahal response tersebut merupakan tahapan dan syarat yang harus dilalui dalam kontrak perjanjian jual beli gas/LNG. Tahapan ini merupakan hal yang rutin dilakukan oleh Direktorat Gas Pertamina sebelum dibubarkan dan Pertagas diakuisisi PGN pada 2018,” papar Marwan.

Selain itu, kata dia, sejak dibubarkannya Direktorat Gas Pertamina yang biasanya menangani bisnis gas/LNG, pucuk pimpinan Pertamina bisa saja tidak aware atau tidak care dengan keberdaan bisnis tersebut. Padahal bisnis gas dan LNG ini bukan hanya bisnis Pertamina tetapi juga bisnis yang menguntungkan Indonesia.

“Bisa saja kealpaan manajemen Pertamina ini akibat kelupaan, ketidakpedulian atau kesengajaan. Tapi apa pun itu, akibat buruknya adalah Pertamina sangat berpotensi merugi Rp 40 triliun! Dalam hal ini, Pertamina dan pemerintah yang telah membubarkan Direktorat Gas layak pula harus bertanggungjawab,” tegasnya.

Lebih jauh ia juga menjelaskan, bahwa untuk mencegah turunnya harga saham atau bangkrutnya PGN, pada 2018-2019 pemerintah telah membuat kebijakan mengalihkan sebagian besar bisnis gas dan LNG Pertamina ke PGN dan memaksa Pertamina menjual saham Pertagas ke PGN (pola inbreng). Lalu Direktorat Gas Pertamina dibubarkan.

Moral Hazard
Namun ironisnya, kata dia, tidak semua bisnis gas apalagi bisnis LNG yang sarat reputasi dan modal, dapat dialihkan dan mampu dikelola PGN dengan baik. Dan itu mengakibatkan sampai saat ini sejumlah bisnis gas/LNG yang dirintis dan dikelola Pertamina menjadi terbengkalai, termasuk LNG dari Mozambik.

“Kebijakan pemerintah mengalihkan bisnis gas dan LNG Pertamina ke PGN, yang lebih mengutamakan pemegang saham asing dan publik di PGN ini diduga bernuansa moral hazard, dan patut diusut tuntas secara hukum. Yang jelas, akibat kebijakan ini sangat potensial membuat Pertamina harus membayar denda sekitar Rp 40 triliun dalam kontrak LNG Mozambik,” ketusnya.

Tidak hanya itu, kata dia,, manajemen Pertamina dan pemerintah melalui komisaris Pertamina juga tak kunjung mengeluarkan kebijakan dan membuat keputusan atas permasalahan LNG Mozambik yang terlanjur dibeli Pertamina. Padahal LNG tersebut belum dapat segera digunakan karena keterlambatan pembangunan kilang RDMP/GRR.

“Dalam hal ini, rakyat pantas menuntut pertanggungjawaban pemerintah yang gagal membuat keputusan, termasuk Komut Pertamina yang sebenarnya tidak layak secara legal menjadi Komut, terutama karena diduga terlibat berbagai kasus korupsi,” tegasnya.

Lebih jauh ia mengatakan, tertundanya proyek RDMP dan rencana pembangunan kilang-kilang BBM baru tahun-tahun sebelumnya tak lepas dari peran mafia minyak yang ditengarai terus menghambat pembangunan dan revitalisasi kilang-kilang Pertamina, agar dapat terus menikmati rente impor BBM/minyak.

“Dalam hal ini, keterlambatan dan hambatan atas proyek RDMP pantas pula dipertanyakan kepada pemerintah, termasuk kepada Presiden Jokowi, yang pada Juli 2014 pernah berjanji akan memberantas mafia minyak,” ketusnya.

Lima penyebab yang potensial yang membuat Pertamina merugi Rp 40 triliun di atas, kata dia, secara terang benderang menunjukkan besarnya pengaruh dan peran pemerintah dalam mengelola Pertamina dan bisnis migas nasional.

“Prinsipnya, pengelolaan tersebut tidak sesuai prinsip good corporate governance dan patut diduga bernuansa moral hazard, serta terkesan “ugal-ugalan” atau semau gue,” tandasnya.

Menurut mantan anggota DPD asal DKI Jakarta ini, jika akhirnya Pertamina harus menanggung kerugian membayar denda Rp 40 triliun akibat kontrak LNG Mozambik yang bermasalah, maka hal itu semata-mata berpangkal pada kebijakan pemerintah yang bersifat semau gue dan bernuansa moral hazard.

“Hal ini juga ditambah dengan sikap manajemen BUMN yang ABS! Padahal kebijakan ini tak jauh dari sikap menjadikan BUMN sebagai sapi perah dan objek untuk perburuan rente. Jadi DPR dan lembaga penegak hukum harus peduli dengan kasus ini,” pungkasnya.(Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *