Jakarta, Ruangenergi.com – Kasus sengketa pajak Rp 3,06 triliun antara PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan yang mengemuka di awal tahun ini masih terus bergulir.
Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Energi Watch, Mamit Setiawan mengimbau para pihak yang terkait permasalahan ini untuk saling berkonsolidasi, mencari jalan keluar yang terbaik bagi persoalan itu.
“Harus diingat juga bahwa PGN merupakan perusahaan milik negara, yang juga sebagai alat pemerintah untuk misi ketahanan energi juga. Jadi menurut saya perlu duduk bersama mencari jalan keluar terbaik, agar persoalan ini tidak berlarut-larut,” kata Mamit kepada Ruangenergi.com di Jakarta, Jumat (26/2/2021).
Ia sangat menyayangkan jika perkara pajak PGN ini menjadi rumit dan berbelit, karena hal itu bakal merugikan masyarakat Indonesia.
“Ini sulit bagi PGN. Karena Keputusan Mahkamah Agung (MA) sudah inkrah (pasti/tetap). Tapi kita berharap masih ada solusi yang bisa dilakukan PGN untuk menyikapi keputusan dari MA,” tukasnya.
Apalagi PGN sendiri juga sangat diandalkan Pemerintah untuk menjalankan program-program khusus, termasuk penyediaan gas murah bagi industri.
“Pemerintah seharusnya bisa memberikan keleluasaan ataupun jalan keluar. Karena bagaimanapun PGN adalah BUMN yang harus kita bantu dan kita jaga bersama,” ujarnya.
Sebagai Subholding, ia juga mendorong agar PGN melakukan koordinasi dengan Pertamina dalam mencari solusi.
“Masalah ini cukup berat, karena munculnya disaat pendapatan PGN tengah menurun signifikan karena pandemi,” katanya.
Meski kembali mencuat belakangan, persoalan persoalan pajak antara PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN) dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sejatinya muncul sejak lama.
Munculnya kembali kasus ini ke permukaan merupakan kelanjutan dari permintaan Bursa Efek Indonesia (BEI) kepada PGN untuk menjelaskan pada 18 Desember 2020 lalu. Kemudian, pada 30 Desember 2020,
Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama mengatakan, PGN dapat menyampaikan dampak terhadap aspek operasional, keuangan, dan hukum perseroan atas perkara hukum tersebut.
“Jadi, PGN memiliki potensi kewajiban membayar pokok sengketa sebesar Rp 3,06 Triliun ditambah potensi denda. Namun PGN tetap berupaya menempuh upaya-upaya hukum yang masih memungkinkan untuk memitigasi putusan MA tersebut,” paparnya.
Selain itu, lanjut dia, sejalan dengan upaya hukum tersebut, PGN akan mengajukan permohonan kepada DJP terkait penagihan pajak agar dilakukan setelah upaya hukum terakhir sesuai peraturan perundang-undangan, dengan pembayaran melalui diangsur/cicilan atau mekanisme lainnya.
“Sehingga PGN dapat mengatasi kesulitan keuangan dan tetap dapat melaksanakan bisnis ke depannya dengan baik, termasuk menjalankan penugasan pemerintah,” tukasnya.
Sementara itu, Kementerian BUMN akan melakukan pembicaraan dengan Kementerian Keuangan mengenai persoalan pajak antara PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN) dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menyampaikan bahwa persoalan pajak PGN terjadi pada 2012, di mana dalam pengadilan PGN dinyatakan menang. Namun, kemudian ada peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA), dan memutuskan memenangkan DJP.
“Tapi sebelumnya, sudah ada peraturan keluar dari Direktur Jenderal Pajak bahwa objek pajak tersebut bukanlah objek pajak. Ini sudah mereka akui dari 2014 – 2017,” katanya beberapa waktu lalu.
Selama ini, Arya mengatakan PGN tidak mengutip pajak terhadap konsumen yang membeli gas. Hal ini berbeda jika seandainya PGN mengutip pajak dari konsumen dan tidak membayar pajak kepada negara.
“Karena memang bukan objek pajak sehingga PGN tidak mengutip pajak. Jadi ini bukan soal bayar pajak ya, tapi soal itu objek pajak atau bukan,” ujarnya.
Ia optimistis persoalan ini bisa diselesaikan dengan baik dan tidak akan membuat PGN rugi.(Red)