Salamuddin Daeng

Kebijakan Yang Merugikan BUMN, Pengamat : Tidak Sinkron Antara Pemerintah dengan BUMN

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com Pengamat Ekonomi Politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengatakan secara garis besar dirinya melihat tidak adanya sinkronisasi antara Pemerintah dan BUMN.

Sehingga apa yang dipikirkan Pemerintah tidak dapat diterjemahkan dengan baik oleh BUMN di dalam melaksanakan kegiatan yang diberikan. Ini dampaknya cukup parah yakni kerugian yang ditanggung oleh para BUMN.

Hal tersebut dikatakan olehnya dalam diskusi online yang digelar Energy Watch bersama Situs Energi bertemakan “PGN Rugi Salah Siapa?”, yang disiarkan di channel YouTube Ruang Energi, Jumat (16/04).

Yang mana dalam laporan keuangan PT PGN di 2021 ini mengalami kerugian yang cukup luar biasa yakni sebesar US$ 264 juta atau sekitar Rp 3.845 Triliun.

“Ada beberapa penyebab PGN mengalami kerugian yang pertama yakni sengketa pajak tahun 2012-2013 oleh Dirjen Pajak, dan puncaknya pada Desember 2020 Mahkamah Agung memutuskan bahwa PGN harus membayar sebesar US$ 278,4 juta,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, penyebab kerugian lainnya yakni terjadinya penurunan asset di sektor migas sebesar US$ 74,9 juta, sehingga secara komulatif PGN mengalami kerugian sebesar US$ 264 juta.

Ia mengungkapkan, ketidakmampuan perusahaan untuk membaca maksud dan tujuan dari seluruh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ini berakibat terjadinya kerugian di tubuh BUMN.

Diskusi online PGN Rugi Salah Siapa?
BUMN Sebagai Sapi Perah

“Bisa dikatakan BUMN ini sebagai sapi perah para penguasa. Saya curiga BUMN hanya dijadikan sebagai suatu perangkat oleh penguasa,” tutur Daeng.

Ia menjelaskan, wajar saja di dalam praktik bisnis di sebuah perusahaan BUMN, misalnya PGN, mereka gagal di dalam menerjemahkan kebijakan yang diberikan oleh pemerintah. Sebab, di dalam laporan keuangan mereka (PGN) pun tidak berani secara jujur mengakui permasalahan yang dihadapi.

“Kecurigaan saya yang lain yakni ada satu bentuk pembiaran di dalam pemerintahan dan di dalam BUMN ini. Sepertinya mereka tidak perduli dengan BUMN kita, mau bangkrut atau tidak, yang penting mereka bisa tetap gajian, bisa tetap dapat fasilitas ini dan itu. Saya sebut sebagai penikmat jabatan, hanya menikmati jabatannya tanpa adanya satu rasa tanggung jawab atas amanah yang diberikan kepadanya,” tegas Daeng.

Menurutnya, kasus yang dihadapi PGN, jika dilihat didalam laporan keuangannya seperti tidak konsisten di dalam mengakui sebab terjadinya kerugian.

“Di dalam laporan keuangan dikatakan bahwa penyebab kerugian itu tidak diakui secara terbuka, bahwa penyebab itu adalah sengketa pajak. Karena didalam laporan keuangan itu terdapat tingkat kerugian akibat penurun penjualan yang signifikan,” paparnya.

Misalnya saja, revenue PGN ini menurun dari 3,8 miliar USD pada tahun 2019, menjadi 2,8 miliar USD pada tahun 2020, itu angka penurunannya besar sejumlah 1,1 miliar USD.

“Selain itu, perusahaan-perusahaan di BUMN itu 40% dimiliki oleh afiliasi politik. Dari manajemen-manajemen dan lainnya itu dimiliki afiliasi politik yang terkait dengan budaya mereka,” bener Daeng.

Penurunan Harga Gas Tak Ada Landasannya

Terkait kebijakan pemerintah terkait harga gas sebesar US$ 6 per mmbtu, menurutnya hal itu tidak ada landasan yang pasti.

“Ada berbagai macam kebijakan misalnya kebijakan penurunan harga gas menjadi US$ 6 per mmbtu ini itu kan sebetulnya tidak ada landasan yang benar. Menurut saya kalau harga diturunkan musti ada landasan yang pendahulunya yang mengambil langkah untuk menurunkan,” katanya.

Secara tegas ia mengatakan, ini tampak jelas sekali bahwa niatnya untuk memakai BUMN untuk mengambil keuntungan. Sama seperti memeras BUMN untuk keuntungan pihak lain.

“Nah, pihak-pihak lain ini punya kaitan dengan kekuasaan, mereka bisa menekan kekuasaan untuk mengambil kebijakan yang menguntungkan mereka. Akhirnya semua keuangan PGN ini tidak bisa diatasi dengan peningkatan revenue, tidak bisa diatasi dengan peningkatan kinerja. Tapi semuanya akhirnya dijawab dengan membuat hutang baru,” urai Daeng.

Lebih jauh, ia mengatakan, hutang baru yang diambil oleh BUMN-BUMN seperti PGN ini sebetulnya tidak lagi dapat memberikan benefit yang baik untuk kemajuan usaha. Akan tetapi lebih kepada membiayai pengeluaran yang merupakan konsekuensi dari kebijakan.

Menurut analisisnya, Pemerintah harus bisa menjelaskan apa maksud dibalik kebijakan menurunkan harga gas sebesar US$ 6 per mmbtu, sementara di hulu nya tidak ditekan oleh SKK Migas.

“Dalam laporan PGN juga saya lihat belum ada satu langkah yang diambil dari satu institusi lain misalnya SKK Migas untuk menekan di hulu karena adanya kebijakan penurunan gas di hilir. Artinya ada kepentingan origarki yang pada akhirnya dibebankan kepada BUMN kita,” tandasnya.