Jakarta,ruangenergi.com-Menyikapi keinginan daerah untuk masuk berpartisipasi di dalam kepemilikan blok migas hendaknya memenuhi aturan investasi dalam usaha hulu migas.
Bukan kah untuk kesertaan IP 10% bagi pemerintah daerah ketika proses POD sudah disampaikan walaupun ada catatan BUMD yang tidak siap untuk menyiapkan pendanaan investasi sehingga mencari kerja sama investasi. Hal ini dikarenakan penggunaan dana APBD patut dipertanyakan apakah dimungkinkan digunakan untuk usaha yang memiliki resiko usaha yang tinggi?
“Tentang penulisan pemberitaan adanya keinginan untuk mendapatkan 35 % saham di pengelolaan blok Rokan, hal ini perlu didukung oleh aturan investasi di kegiatan usaha hulu migas, tentunya kita berharap suatu keinginan jangan sampai mengganggu kegiatan usaha yang sedang berjalan.Mengingat usaha hulu migas diperlukan tidak hanya investasi pendanaan namun memerlukan juga teknologi tinggi dan SDM yang memadai,” kata Ketua Komunitas Pensiunan Pertamina (KP-2) Luluk Harijanto dalam bincang santai secara virtual dengan ruangenergi.com,Rabu (02/06/2021) di Jakarta.
Bagi Luluk yang pernah duduk di jabatan Kepala Perwakilan BPMIGAS Wilayah Sumatera Bagian Utara tahun 2004-2005,kebiasaan dari pengalihan suatu blok usaha hulu migas produksi, akan tetap mempertahankan kondisi yang sedang berjalan hal ini dilakukan untuk tidak mengganggu produksi yang berjalan, dan Pertamina melakukan hal yang sama untuk blok Rokan Riau dalam proses akusisi.
“Intinya untuk berperan dalam investasi kegiatan usaha hulu migas yang sudah berproduksi perlu kehati-hatian, yang didukung oleh beberapa syarat antara lain :
(1). Peraturan berinvestasi dalam kegiatan usaha hulu migas.
(2). Kesediaan pendanaan, dan
(3). Kesiapan teknologi berikut SDM nya, agar produksi meningkat,” cetus Luluk yang juga pemerhati/praktisi hukum.
Yang tidak kalah penting Riau,lanjut Luluk, pada jamannya pernah menjadi primadona produksi terbesar di Indonesia sekitar 1 juta lebih BOPD namun ditahun 2004 berdasarkan catatan yang didapat Riau adalah salah satu propinsi termiskin di Indonesia.
Hal lain perlu dilakukan peninjauan kembali atas perhitungan cost recovery, apakah mempunyai nilai kewajaran bila ada pembebanan negara atas biaya produksi kegiatan usaha hulu migas sebesar 90%.? investor hanya dibebani 10 persen.