Jakarta, Ruangenergi.com – Mantan Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Ugan Gandar mengatakan, PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk bakal kehilangan kemampuan untuk menjalankan penugasan pemerintah, jika putusan Mahkamah Agung (MA) terkait denda pajak sebesar Rp 3 triliun itu betul-betul di eksekusi dan benar-benar harus dibayarkan.
“Jadi harus ada suatu win-win solution untuk menyelesaikan permasalahan ini, mengingat peran PGN yang sangat sentral bagi penyediaan energi di Indonesia,” kata Ugan dalam diskusi virtual ‘Salah Apa PGN?’, yang digelar Ruang Energi, Kamis (4/3/2021).
“Jika ini diteruskan, maka laporan keuangan PGN tahun 2020 akan mengalami kerugian kurang lebih diatas USD 800 juta, kalau harus membayar,” lanjut Ugan.
Lebih jauh ia mengatakan, setidaknya ada empat solusi yang bisa diambil pemangku kebijakan untuk penyelesaian sengketa pajak PGN dan Ditjen Pajak ini.
“Jika empat hal ini bisa dijalankan, maka setidaknya PGN bisa terselamatkan dan program-program strategis perusahaan seperti Jargas, bisa terus dilakukan,” tukasnya.
Empat hal tersebut antara lain, keputusan MA yang menghukum PGN tersebut tidak dieksekusi, kemudian permohonan penghapusan piutang pajak, lalu penundaan pembayaran setelah PGN menjalankan tugasnya dari pemerintah untuk menyiapkan Jargas dan terakhir membayar namun bisa dicicil selama 15 tahun.
“Jika PGN diwajibkan membayar seluruh pokok tagihan dan denda, kurang lebih bisa mencapai Rp 8,3 triliun,” pungkasnya.
Tak Ada Celah Lagi
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahean menilai, saat ini sudah tidak ada celah secara hukum bagi PGN untuk mangkir dari keputusan MAtersebut.
“Dari sisi hukumnya saya lihat tidak ada solusi lagi untuk menyelamatkan PGN agar tidak terbebani atas putusan kewajiban membayar pajak Rp 3,8 triliun tersebut,” kata dia.
Menurut Ferdinand, PGN tidak perlu lagi mencari celah hukum untuk menyelesaikan persoalan ini. Akan lebih baik jika Direksi PGN meloby pemerintah dan DPR agar hukuman denda Rp 3,8 triliun tersebut diakui sebagai kewajiban yang dikonversi menjadi Penyertaan Modal Negara (PMN).
“Ini sama seperti yang pernah dilakukan PLN dulu ketika revaluasi dimana pajaknya sekitar Rp 16 triliun kemudian dikonversi menjadi PMN oleh pemerintah. Sehingga pajak ini tidak perlu dibayar ke pemerintah, namun dikonversi menjadi PMN,” papar Ferdinand.
Ia menilai, cara ini lebih baik ketimbang PGN harus mencari uang untuk membayar denda tersebut. Apalagi jika bicara kemampuan finansial PGN sekarang sedang ‘berdarah-darah’, sehingga hanya akan semakin menambah beban perusahaan saja.
“Daripada buang-buang energi, lebih baik mulai sekarang direksi menjalankan itu,” pungkasnya.(Red)