Jakarta,ruangenergi.com- Kemandirian industri dan energi baru terbarukan harus ditopang oleh seluruh ekosistemnya, mulai dari research and development, design, manufacture,marketing, distribusi sampai kepada after sales.
Kemandirian memang dimulai dari inovasi. Menghargai pasti. Tetapi inovasi yang sampai mana? Jangan sampai inovasinya poles-poles, kemudian dianggap inovasi. Nah inovasi itu ada pakemnya. Ada Technology Readiness Levels (TRL)1 sampai 9. Ada manufacture readiness level (MRL) 1 sampai 10. Ada Sustainment Maturity Levels 1 sampai 12.
Demikian disampaikan Direktur Industri Permesinan dan Alsintan Ditjen ILMATE Kementerian Perindustrian Herman Supriadi dalam paparan pada Webinar Kemandirian Industri dan EBT yang diselenggarakan ruangenergi.com,Rabu (29/12/2021) di Jakarta.
“Ketika sebuah produk bisa commercial, hasil inovasinya TRL sudah mencapai 1 sampai 9, dan MRL 1 sampai 10, dan SMR 1 sampai 12.Itulah yang akan menghasilkan inovasi yang unggul. Menghasilkan sebuah produk yang unggul dari sisi QC,nya” jelas Herman dengan semangat.
Kualitas barang yang dibutuhkan oleh PT PLN (Persero) harus memenuhi unsur QCD (quailty control delivery).
“Tidak bisa juga kita membabi-buta menghargai produk dalam negeri, tapi melakukan TRL cuma 1 sampai 4, lalu kecebur di TRL 6 di lembah kematian, lalu kita harus memberi bobot R and D sebesar 20 persen.Tidak juga fair, gitulah,” tutur Herman.
Menurut Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan,permasalahan dan kendala TKDN adalah harga produk lokal yang masih kurang bersaing jika di bandingkan produk impor. Kualitas produk yang dihasilkan masih butuh improvement agar bisa bersaing dengan produk impor Kesanggupan dalam penyediaan produk yang belum memenuhi ketersediaan pasar.
“Minimnya R&D yang dilakukan oleh industri penunjang dalam negeri. Lemahnya dukungan dari kementerian/lembaga dalam mendorong optimalisasi TKDN Minimnya pembiayaan dari perbankan untuk industry penunjang dalam meningkatkan TKDN,” papar Mamit dalam webinar yang digelar oleh ruangenergi.com tersebut.
Terkait dengan harga, diharapkan PLN tidak hanya bicara menekan cost operasional dalam menggunakan produk dalam negeri tetapi memperhatikan dampak dari penggunaan TKDN oleh industri penunjang. Dimana industri penunjang harus meningkatkan kualitas produk mereka dengan mengembangkan R&D dan tidak hanya bergantung kepada produk impor atau perusahaan pendukung dari luar negeri. Industri penunjang harus mempunyai management dan pendanaan yang signifikan ketika mendapatkan pekerjaan.
“PLN harus memberikan kepastian kontrak bagi industri penunjang berbasis high technology agar mereka bisa mengembangkan kemampuan dan kapasitas R&D mereka. Banyak tenaga ahli nasional yang bekerja di luar negeri. Industri dalam negeri bisa mengajak mereka bergabung dengan memberikan fasilitas yang hampir sama dengan yang mereka dapatkan. Hal ini akan menyebabkan adanya transfer knowledge.
Perlu adanya dukungan bagi industry penunjang dari kementerian/lembaga dalam berinvestasi di Indonesia.
Mengurangi impor raw material dengan mengoptimalkan produk dalam negeri,” tutur Mamit yang juga alumni Fakultas Teknik Perminyakan Universitas Trisakti.
Mamit juga membeberkan permasalahan dalam menuju transisi energi nasional. Dia menuturkan, saat ini Pembangkit dominasi oleh pembangkit fosil.Membutuhkan biaya yang besar untuk beralih ke EBT
Akses masyarakat terhadap energi belum sepenuhnya terpenuhi disebabkan kendala infrastruktur dan geografis.
“Harga EBT masih belum kompetitif dengan energi fosil dan masih bersifat intemiten sehingga perlu adanya supply pemikul intemintensinya. Proses perizinan yang panjang dan rumit.Penguasaan IPTEK Masih Terbatas
Masih banyak tergantung pada import. Lemahnya sinergitas antar lembaga dan Kementerian.Belum berpihaknya terhadap inovasi dalam negeri,” jelas Mamit.