Jakarta, Ruangenergi.com – Saat ini Indonesia tengah berupaya untuk mengurangi penggunaan bahan bakar yang bersumber dari energi fosil. Melalui ratifikasi Paris Agreement, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional sesuai NDC (Nationally Determined Contribution).
Berdasarkan konvensi perubahan iklim, pemerintah memiliki kewajiban untuk penurunan emisi karbon di sektor kehutanan sebesar 17,2%, di sektor energi sebesar 11%, sektor limbah sebesar 0,32%, sektor pertanian sebesar 0,13%, sektor industri dan transportasi sebesar 0,11%.
Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energi (PGE), Ahmad Yuniarto, mengatakan bahwa pihaknya tengah melakukan kajian untuk mengembangkan green hydrogen bersama Pertamina Power Indonesia (PPI) dan Divisi Riset, Teknologi dan Inovasi PT Pertamina (Persero).
“Masih dalam kajian, dengan PPI dan RTI. Ini merupakan bagian dari Pertamina yang melakukan kegiatan riset pengembangan dan pemanfaatan teknologi. Masih mengkaji, apa yang bisa dilakukan. Kalau pertamina secara luas, dengan sub-holding Hulu juga melihat potensi storage juga,” kata Ahmad Yuniarto saat dihubungi Ruangenergi.com, (02/07).
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa konsep credit carbon menarik untuk dikembangkan. Pihaknya berupaya untuk terlibat dalam pengurangan emisi karbon yang sedang dijalankan pemerintah.
“Secara umum bagaimana group Pertamina bisa terlibat dan menjadi bagian dari value chain carbon economy global,”imbuhnya.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati, pernah mengatakan, pengembangan green hydrogen memang menjadi salah satu fokus perseroan ke depan.
Dapat dikatakan bahwa green hydrogen sebagai potensi energi hijau yang saat ini belum terlalu dimanfaatkan.
Nicke menjelaskan bahwa proyek pertama yang tengah dilakukan yakni di Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) Ulubelu, yang mana hasil dari green hydrogen tersebut diperlukan untuk bioenergi.
“Green hydrogen ini diperlukan untuk bioenergi dan kebutuhannya juga besar untuk kilang,” ungkap Nicke.
Dalam diskusi bersama media (01/07) lalu, Corporate Secretary PT Pertamina Power Indonesia (PPI), Dicky Septriadi, mengatakan, Subholding Power & Renewable Energy Pertamina, memperkirakan bakal mengeluarkan belanja modal sekitar US$ 12 miliar atau sekitar Rp 174 triliun (kurs Rp 14.500 per US$) untuk berinvestasi di sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan kapasitas 10 Gigawatt (GW).
Dicky menjelaskan, proyek pemanfaatan EBT dengan kapasitas 10 GW tersebut akan tuntas dalam 5 tahun mendatang alias pada 2026.
Guna mewujudkan targetnya tersebut, Pertamina mengidentifikasi tiga tantangan utama yang perlu dicarikan solusinya bersama-sama seluruh pihak, yaitu komersialisasi, lahan dan pembiayaan investasi.
Adapun kapasitas 10 GW pada tahun 2026 tersebut terdiri dari 6 GW pada lini bisnis gas to power, 3 GW renewable energy, dan 1 GW adalah inisiatif EBT lainnya seperti pengembangan EV ecosystem dan energi hidrogen.
Pada bisnis gas to power, yang saat ini sudah ada di dalam pipeline antara lain PLTGU Jawa-1 berkapasitas 1,8 GW dengan kemajuan proyek mencapai 97 persen; proyek IPP di Bangladesh berkapasitas 1,2 GW; serta proyek-proyek penyediaan listrik berbasis gas uap baik di dalam maupun luar negeri.
Sedangkan pada bisnis renewable energy, kontribusi signifikan berasal dari geothermal yang dikelola oleh PGE dengan target kapasitas terpasang 1,1 GW pada tahun 2026. Sementara 1,9 GW berasal dari PLTS, PLTBg, smart grid, dan pembangkit listrik EBT lainnya.
“PNRE juga tengah mengembangkan beberapa inisiatif, antara lain green dan blue hydrogen, serta EV ecosystem yang ditargetkan mencapai 1 GW pada tahun 2026. Untuk mencapai aspirasi 10 GW pada tahun 2026, PNRE tidak saja mengerjakan proyek EBT di dalam Pertamina Group ataupun di dalam negeri tapi juga menjajaki ekspansi bisnis di luar negeri,” ujarnya.
Transisi energi yang dikawal oleh PNRE bermuara pada komitmen Pertamina untuk mendukung pemerintah menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% pada tahun 2030 dan mencapai net zero emission pada tahun 2060.