Kendaraan listrik

Kembangkan KBLBB, Cara Pemerintah Kurangi Gas Rumah Kaca

Jakarta, Ruangenergi.com – Pemerintah berkomitmen untuk mengurangi gas rumah kaca sebesar 67,0 juta ton di 2021.

Sesuai Undang-Undang (UU) nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to UNFCCC dan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 61 tahun 2011 tentang RAN-GRK (Rencana Aksi Nasional penurunan Gas Rumah Kaca).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2020 berhasil menurunkan GRK sebesar 64,4 juta ton CO2 (111%) lebih besar dari jumlah yang ditargetkan oleh Pemerintah yakni 58,0 juta ton.

Hal tersebut dicapai melalui pemanfaatan energi yang bersumber dari Energi Batu dan Terbarukan (EBT) sebesar 53%, Penerapan efisiensi sebesar 20%, penggunaan bahan bakar fosil rendah karbon sebesar 13%, pemanfaatan teknologi energi bersih sebesar 9%, serta kegiatan reklamasi pasca tambang sebesar 4%.

Untuk itu, di sektor transportasi, Pemerintah saat ini menggalakkan program kendaraan ramah lingkungan atau Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB).

Tren pasar mobil listrik di Indonesia sejak tahun 2011 hampir seluruhnya
didominasi oleh mobil listrik tipe hybrid seiring dengan keinginan pemerintah
untuk menurunkan emisi CO2 yang dihasilkan oleh sektor transportasi.

Di mana, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tren pertumbuhan kendaraan bermotor saat ini terus meningkat. Rata-rata pertumbuhan kendaraan dari tahun 2006 sampai 2016 di Indonesia sebesar 11,5 % pertahun, sementara pertumbuhan ekonomi berkisar 5 %.

Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor nasional pada periode tersebut membanggakan tetapi sekaligus mengkuatirkan karena terjadi konsumsi BBM secara signifikan sehingga jumlah impor BBM Indonesia melonjak drastis.

Pasalnya, di tahun 2017, nilai impor BBM sudah mencapai di atas Rp 220 Triliun. Tentunya, angka tersebut akan berdampak pada melemahnya nilai CAD (Current Account Deficit) dan akhirnya mempengaruhi kondisi perekonomian nasional.

Dalam draf dokumen RUPTL 2021-2030 yang dimiliki Ruangenergi.com, Pemerintah mencatat nilai impor BBM yang sekitar 70-80% dikonsumsi oleh sektor transportasi darat, hal ini diperkirakan akan terus meningkat dan sesuai dokumen RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) impor BBM akan melebihi Rp 550 Triliun di tahun 2025.

Penggunaan BBM sebagai bahan bakar kendaraan bermotor saat ini disinyalir sebagai penyumbang polusi udara terutama di kota-kota besar.

Pengukuran terakhir dari Dinas Lingkungan Hidup menunjukan kualitas udara dikota-kota besar di Indonesia sudah memburuk dan mayoritas disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor.

Di Jakarta misalnya, kualitas udara sudah diatas nilai 155 dari ambang atas 200 yang menunjukkan sudah tidak sehat dan 78% penyebabnya adalah kendaraan bermotor berbahan bakar fosil (BBM).

Untuk itu, kedua hal diatas sangat diperlukan konservasi pemakaian energi di sektor transportasi darat dari bahan bakar fosil ke bentuk energi lainnya yang lebih bersih, terlebih lagi ketersediaan sumber energinya berasal dari lokal sehingga tidak harus mengimpor.

Pilihan utama yang sesuai adalah implementasi EV (Electric Vehicle) untuk sektor transportasi darat baik pribadi maupun keperluan publik.

EV dinilai lebih ramah lingkungan karena tidak mengeluarkan emisi gas buang
seperti halnya pada kendaraan berbahan bakar fosil. Aspek lingkungan tersebut
yang mendorong masyarakat umum untuk lebih memilih EV untuk kedepannya.

Polusi udara di perkotaan akan berkurang drastis jika EV dapat diaplikasikan secara luas di daerah perkotaan. Hal ini yang menyebabkan komitmen negara-negara maju untuk mendorong perkembangan implementasi EV.

Berikut adalah kebijakan beberapa negara terkait dengan pemanfaatan EV :

– Perancis, melarang kendaraan berbahan bakar fosil pada tahun 2020, dan akan mematikan PLTU yang bersumber dari energi fosil (Batubara) pada tahun 2022. Lalu, akan menurunkan produksi PLTN sebesar 50% dari kapasitasnya pada tahun 2025, serta menghentikan izin baru untuk eksplorasi gas dan minyak.

– Norwegia, hanya akan menjual kendaraan listrik (EV) pada tahun 2025 mendatang.

– Belanda, hanya akan menjual kendaraan listrik pada tahun 2025.

– Jerman, hanya akan menjual kendaraan listrik pada tahun 2030.

– India, hanya akan menjual kendaraan listrik pada tahun 2030.

Perkembangan Electric Vehicle di Indonesia

Pemerintah mencatat sejarah perkembangan EV di Indonesia dimulai oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dengan membuat
Marmut Listrik (Marlip).

Kemudian di tahun 2010 dikembangkan Kijang dan Bus Hybrid. Pada 25 Juni 2012 dibentuk tim MOLINA (Mobil Listrik Nasional) yang terdiri dari perguruan tinggi, lembaga riset dan perusahaan dalam negeri (UI, ITB, UGM, UNS, ITS, LIPI, BPPT, PT LEN, PT PINDAD).

Lalu, pada Januari 2013, PLN membuat Electric Vehicle Nasional (Evina) beberapa unit, yang salah satunya di parkir di PLN Puslitbang dan TMII.

Setelah itu perkembangan EV mulai meredup sampai sekarang.

Peran PLN di bidang EV terletak pada penyiapan infrastruktur charging system
atau yang disebut sebagai Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik
Umum (SPKLU), di mana sesuai dengan penugasan Pemerintah yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019.

Sebagai langkah awal penugasan
pemerintah, PLN telah membuat standar mengenai Spesifikasi Peralatan Pengisian (Charging) Baterai Untuk Kendaraan Listrik pada tahun 2017 yakni SPLN D3.030:2017 yang telah disahkan oleh Direksi dan dapat digunakan sebagai pedoman spesifikasi SPKLU di wilayah kerja PLN.

Selain spesifikasi SPKLU yang didedikasikan untuk mobil listrik tersebut, PLN juga sudah mengembangkan SPLU yang dapat digunakan sebagai peralatan pengisian baterai untuk kendaraan listrik roda dua (motor listrik). Di mana sampai dengan Agustus 2019 tercatat sudah terpasang SPLU di seluruh Indonesia sebanyak 7.149 unit pada 3.348 titik lokasi.

Ada beberapa agenda yang harus dilakukan oleh PLN dalam mengembangkan EV di Indonesia. Untuk menentukan perkiraan jumlah dan lokasi SPKLU yang diperlukan oleh masyarakat dan koneksi jaringan ke grid, maka perlu dibuat roadmap pengembangan infrastruktur kendaraan listrik.

Dengan roadmap tersebut dapat dibuat proyeksi dan perkembangan EV di Indonesia. Dari model bisnis, skema tarif dan sistem pembayaran juga perlu dibangun untuk menghadapi perkembangan EV.

Selain itu, penguatan grid juga sangat penting karena kebiasaan orang akan mengisi baterai EV di rumah. Semakin banyak populasi EV akan menambah beban pada waktu beban puncak.

Dengan adanya perkembangan EV harus segera dibangun infrastruktur Smart Grid sehingga mendukung demand side management.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *