Jakarta, ruangenergi.com – Selama lebih dari satu dekade, EITI Indonesia telah merilis laporan industri ekstraktif, migas dan minerba, yang meliputi data dan informasi dari proses perizinan dan kontrak, produksi, penerimaan negara, ekspor, hingga distribusi pada daerah dan dampak lingkungan dan sosial untuk sebelas tahun fiskal (2009 – 2020).
“Indonesia telah berhasil mencapai status meaningful progress pada tahun 2019 dan sedang berupaya agar pengungkapan data di sektor industri ekstraktif dapat diakses melalui mekanisme pengarusutamaan yang terintegrasi dengan Portal Data EITI.” Demikian dikatakan Sampe L Purba, Ketua Harian Forum MSG/Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Sumber Daya Alam Kementerian ESDM dalam acara Dialog EITI Indonesia Tata Kelola Migas & Tambang “Sejauh Mana Standar Transparansi EITI telah Berjalan & Mampukah EITI Mendukung Upaya Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia?” yang diselenggarakan oleh Kementerian ESDM, pada Rabu (08/03).
Selain Sampe, Dialog Kebijakan EITI Indonesia juga menghadirkan narasumber antara lain Erry Riyana Harjapamekas Angota Dewan EITI Indonesia periode 2012-2015, Agus Widodo Asdep III Kemenko Perekonomian, Hasrul Hanif Peneliti Polgov UGM, Agus Cahyono Adi Kepala Pusdatin Kementerian ESDM sekaligus Kepala Sekretariat EITI Indonesia, Joko Tri Haryanto Analis Kebijakan Ahli Madya BKF Kemenkeu, dan Emanuel Bria Asia Country Officer EITI.
Di sisi lain, menurut Sampe saat ini Pemerintah tengah menyusun rangkaian program dan kebijakan untuk menghadapi transisi energi dari energi fosil ke energi hijau ramah lingkungan. Pelaksanaan transisi energi erat kaitannya dengan industri ekstraktif. Transisi ini akan memberikan risiko dan peluang bagi industri ekstraktif.
Terlebih Indonesia, sebagai negara yang dianugerahi kekayaan sumber daya alam dan memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap sumber daya alam perlu memperhatikan transparansi data produksi dan ekspor, serta informasi tentang pendapatan negara pajak dan bukan-pajak, serta tenaga kerja,
Dengan adanya data industri ekstraktif yang dapat diakses secara setara oleh semua pihak, maka baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat menyusun perencanaan transisi energi. Demikian pula, dengan adanya data dan informasi tersebut, stakeholder dapat melakukan analisa, mengukur dampak dan manfaat transisi energi dari sisi sosial dan ekonomi yang mungkin ditimbulkan.
“Transparansi data industri ekstraktif akan membantu dan mendukung pelaku industri, pemerintah daerah dan masyarakat, serta akademisi untuk mengambil posisi, keputusan, dan implementasi skema transisi apa yang lebih sesuai, baik di tingkat lokal dan nasional,” ujar Sampe L Purba.
Narasumber pertama Erry Riyana Harjapamekas menjelaskan peran multi-stakeholder dalam penguatan tata kelola industri ekstraktif. Dalam kesimpulan paparannya Erry yang saat ini menjadi Ketua Advisory Komite Anti Korupsi Indonesia menyampaikan beberapa poin penting.
Pertama, pelaksanaan transparansi migas dan minerba dengan standar global EITI penting untuk memperbaiki tata kelola.
Kedua, kolaborasi stakeholder adalah prinsip utama dalam implementasi EITI.
Ketiga, keterlibatan stakeholder dalam perbaikan tata kelola migas dan minerba Indonesia dapat berkontribusi pada peningkatan pendapatan negara, pengembangan ekonomi, mengurangi korupsi dan membangun akuntabilitas sumber daya alam.
Keempat, pelaksanaan standar EITI memberi manfaat bagi setiap stakeholder seperti Pemerintah, perusahaan, investor, dan masyarakat sipil.
Kelima, krisis ekonomi akibat pandemi membawa perubahan kelembagaan MSG EITI Indonesia. Dalam hal ini peran Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan penting untuk bersama menjalankan inisiatif transparansi industri ekstraktif merujuk pada standar global EITI.