Batubara, Sumatera Utara, ruangenergi.com – Siapa sangka, tanaman kemiri yang dikenal sederhana ternyata menyimpan potensi ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat di sekitar kawasan operasi PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
Melalui program kehutanan sosial, PT Inalum memperkenalkan pola tanam agro-kolestri—perpaduan antara tanaman kehutanan dengan pertanian—yang kini mulai menuai hasil nyata.
Menurut Dede Suhandi, Senior Admin Departemen Keberlangsungan Usaha dan Lingkungan PT Inalum, kemiri memiliki keunggulan tersendiri dibanding tanaman lain.
“Kalau kemiri itu perawatannya tidak khusus, pemupukannya tidak rutin, tapi bisa menghasilkan buah cukup kontinyu. Harga kemiri saat ini ada di angka Rp8.000 per kilogram, dan satu batang kemiri usia produktif mampu menghasilkan 30 kilogram per tahun,” jelasDede asli dari Jawa, kelahiran Sumatera atau sering disebut Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera).
Bayangkan, urai Dede dengan semangat, jika seorang petani menanam 100 batang, hasilnya bisa mencapai 3 ton per tahun. Keuntungan lainnya, kemiri dapat disimpan dalam jangka panjang, sehingga petani bisa menjual saat harga melonjak.
“Ada nilai investasi di sana. Itu yang membuat kemiri banyak diminati di kawasan Daerah Tangkapan Air (DTA) dan Kabupaten Toba,” tambah Dede.
Program penanaman kemiri PT Inalum tersebar di beberapa wilayah, seperti Toba, Samosir, hingga Simalungun. Sementara di Humbang Hasundutan, petani lebih memilih alpukat sebagai tanaman unggulan. Sejak ditanam pada 2018 dan 2021, sejumlah pohon kemiri kini mulai memasuki masa produksi.
“Berdasarkan evaluasi di lapangan, satu batang kemiri muda sudah bisa menghasilkan 25–30 kilogram per tahun. Seiring bertambah usia, produktivitasnya juga meningkat,” jelas Dede.
Bagi masyarakat, kemiri bukan hanya komoditas bernilai ekonomis, tapi juga solusi jangka panjang. Dengan pola agro-kolestri, petani tetap bisa menanam cabai atau bawang di sela-sela pohon kemiri. Sementara itu, keberadaan pohon kehutanan ini ikut menjaga kelestarian lingkungan.
Di balik biji kecil kemiri, tersimpan harapan besar: kesejahteraan masyarakat sekaligus kelestarian hutan di tanah Batak.
Program Kolaborasi
Menyadari pentingnya menjaga keberlanjutan sumber daya air, INALUM bersama Perum Jasa Tirta I (PJT-I) sejak beberapa tahun terakhir menggagas program konservasi yang menyentuh banyak aspek: dari penanaman pohon, pembibitan modern, ruang terbuka hijau, hingga edukasi lingkungan bagi masyarakat.
“Konservasi di kawasan Danau Toba bukan hanya tanggung jawab INALUM sebagai pengguna air untuk PLTA, tetapi juga komitmen moral kami dalam menjaga ekosistem,” ujar Daniel JP Hutauruk, Kepala Grup Layanan Strategis INALUM.
Data riset konservasi tahun 2022 mencatat, ada 228 ribu hektare lahan kritis di (DTA) Danau Toba. Kondisi ini menjadi alarm untuk segera melakukan aksi nyata. Sejak 2018, INALUM melaksanakan Program Penanaman Pohon di berbagai kabupaten sekitar Danau Toba.
Hingga 2025, luas lahan yang sudah ditanami mencapai ribuan hektare. Targetnya, setiap tahun minimal 500 hektare ditanami pohon baru. Jenis tanaman yang dipilih bukan sembarangan: selain berfungsi menahan erosi dan meningkatkan infiltrasi air, banyak juga yang bernilai ekologis dan ekonomis, seperti pinus, suren, mahoni, hingga alpukat, durian, dan aren.
“Ke depan, penanaman ini akan terus berlanjut dengan skala 500 hektare per tahun di tujuh kabupaten sekitar Danau Toba,” tambah Daniel.
Agar program berjalan konsisten, INALUM membangun Pembibitan Modern Paritohan yang mulai beroperasi Mei 2025 dengan kapasitas produksi 500 ribu bibit per tahun. Tak hanya itu, tiga Kebun Bibit Rakyat (KBR) juga hadir di Toba, Humbang Hasundutan, dan Simalungun dengan kapasitas masing-masing 50 ribu bibit per tahun.
Bibit yang disediakan pun beragam, mulai dari pohon buah (mangga, durian, alpukat) hingga kayu-kayuan bernilai konservasi.
“Dengan adanya pembibitan ini, keberlangsungan penanaman pohon di Danau Toba bisa terjamin,” ungkap Sunamo A. Rakino, Kepala Divisi Konservasi dan Penghijauan INALUM.
Selain pembibitan, kawasan Paritohan juga memiliki Ruang Terbuka Hijau Keanekaragaman Hayati (RTH Kehati) seluas 4 hektare. Area ini menjadi laboratorium alam kecil, lengkap dengan tanaman endemik Toba seperti kemenyan, andaliman, hingga sampinur. Ada pula penangkaran rusa, kolam ekosistem, dan edukasi tentang ecoenzym sebagai pembersih alami perairan.
Salah satu inovasi menarik adalah penerapan Metode Tani Nusantara. Konsep ini mengajarkan pertanian organik dengan memanfaatkan bahan alami lokal untuk pupuk, pestisida, dan mikroba. Hasilnya? Produktivitas meningkat, biaya berkurang, dan lingkungan tetap lestari.












