Jakarta,ruangenergi.com-Hingga Juli 2022, PT Pertamina (Persero) mengklaim telah sukses menghemat biaya operasional sekitar Rp 6 Triliun, di tengah kenaikan harga minyak dunia yang berdampak pada kenaikan biaya produksi bahan bakar minyak.
Keberhasilan itu tak lepas dari langkah strategis penghematan biaya yang dilakukan oleh Pertamina Group sejak awal tahun.
“Kami memahami beratnya beban subsidi Pemerintah, untuk itu Pertamina melakukan berbagai program penghematan biaya dalam rangka membantu menurunkan beban subsidi Pemerintah,” kata Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati dalam siaran pers yang diterima ruangenergi.com,Senin (29/08/2022) di Jakarta
Nicke menjelaskan perusahaan energi dihadapkan pada situasi yang berat di tengah disrupsi mata rantai pasokan energi global sebagai dampak konflik Rusia dan Ukraina, di mana mobilitas perdagangan global yang menuju pemulihan pasca pandemi tersentak dengan keterbatasan pasokan yang berujung krisis energi.
Kebijakan Pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat melalui subsidi BBM merupakan langkah yang tepat, sehingga berhasil mempercepat pemulihan ekonomi. Hal tersebut salah
satunya tercermin dari peningkatan konsumsi BBM untuk mobilitas masyarakat serta aktivitas
usaha. Namun di sisi lain, peningkatan konsumsi BBM tersebut menyebabkan kenaikan beban
subsidi Pemerintah.
Pembelian Minyak Mentah
Porsi terbesar dalam produksi BBM adalah biaya pembelian minyak mentah, yang mencapai
92% dari Biaya Pokok Produksi. Investasi upgrading Kilang Minyak Pertamina yang telah dijalankan dalam 4 tahun terakhir ini, telah berhasil meningkatkan fleksibilitas minyak mentah.
Artinya, jika selama ini Kilang Pertamina hanya dapat memproses minyak mentah tertentu saja
yang harganya mahal, maka mulai tahun lalu sudah mampu memproses minyak mentah dengan
sulfur content lebih tinggi yang sumbernya banyak dan harganya lebih murah. Inilah langkah
strategis Pertamina yang telah berhasil secara signifikan menurunkan biaya produksi BBM.
Selain itu, efisiensi energi di seluruh area operasional dari hulu ke hilir, juga memberikan
penghematan biaya yang signifikan, selain tentu saja memberikan kontribusi pada penurunan
emisi karbon.
“Terobosan pasca restrukturisasi yang juga signifikan untuk mencapai efisiensi Pertamina
Group adalah sentralisasi pengadaan barang dan jasa, serta integrasi dan optimalisasi seluruh aset dari hulu ke hilir,” papar Nicke.
Menurut Nicke, tidak hanya menghemat biaya, bahkan Pertamina Group juga berhasil meningkatkan pendapatan dengan melakukan ekspor produk-produk bernilai tambah tinggi, seperti HVO (D100 berbasis kelapa sawit) dan Low Sulfur Fuel Oil. Demand dunia terhadap produk-produk low carbon terus meningkat.
Dengan upgrading Kilang yang telah dilakukan, saat ini Pertamina mampu menghasilkan produk-produk tersebut, sehingga berhasil menangkap peluang yang sangat prospektif ini.
“Bagi kami, penghematan biaya bukan sekedar cutting cost, tapi mengubah operating model serta memperbaiki bisnis proses, sehingga seluruh program tetap terlaksana dan seluruh target pun tercapai, namun dengan biaya yang lebih rendah. Pertamina akan terus melakukan berbagai upaya penghematan biaya, yang sekaligus mampu menurunkan emisi karbon, sehingga mendukung transisi energi Pertamina dan Indonesia,” pungkas Nicke.