Jakarta, Ruangenergi.com, – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, (SKK Migas) teruss berupaya melakukan kegiatan agar produksi dan nilai tambah hulu migas dapat ditingkatkan.
Yakni dengan berupaya meningkatkan keekonomian suatu lapangan migas melalui penerapan teknologi maupun hilirasi menjadi produk pada lapangan marginal yang jauh dari fasilitas pengolahan, sehingga lapangan tersebut belum bisa dimonetisasi.
Guna mewujudkan rencana tersebut, SKK Migas menggandeng berbagai instansi yang memiliki kompetensi dan keahlian, termasuk didalamnya adalah perguruan tinggi, salah satunya yakni Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya.
Bertempat di kampus ITS, SKK Migas dan ITS melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) untuk kerjasama dalam bidang Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan masyarakat.
MoU tersebut ditandatangani oleh Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dan Rektor ITS Prof. Dr. Ir. Mochamad Ashari, M. Eng.
Sementara, turut mendampingi Kepala SKK Migas yakni Hudi D. Suryodipuro Kepala Divisi SDM SKK Migas merangkap Plt. Kepala Divisi SDMSOM SKK Migas dan Nurwahidi Kepala Perwakilan SKK Migas Jabanusa (Jawa, Bali dan Nusa Tenggara).
Kepala SKK Migas berharap melalui MoU ini kemampuan, keahlian, perlengkapan, sarana prasarana laboratorium serta kompetensi yang dimiliki ITS dapat mendukung upaya peningkatan produksi migas nasional, serta dapat pula berkontribusi dalam upaya peningkatan kapabilitas SDM hulu migas nasional.
Terlebih pemerintah telah merubah paradigma hulu migas yang tidak lagi hanya sebagai sumber penerimaan negara, tetapi telah melangkah lebih strategis lagi yaitu sebagai modal pembangunan.
Dalam sambutannya, Dwi Soetjipto menuturkan bahwa tantangan industri hulu migas terus meningkat, termasuk didalamnya adalah pergeseran penggunaan energi yang akan mengarah pada energi baru dan terbarukan (EBT).
Meski begitu, ia meyakini bahwa meskipun secara prosentase penggunaan migas pada bauran energi nasional menurun tetapi secara volume justru meningkat.
“Jika saat ini kebutuhan minyak sebesar 1,6 juta barrel per hari, maka kebutuhan minyak tahun 2050 menurut rencana umum energi nasional (RUEN) justru meningkat menjadi 3,9 juta barrel. Dapat dibayangkan jika produksi migas nasional tidak ditingkatkan, maka akan ada gap yang sangat besar, yang jika solusinya adalah impor, maka tentu sangat membebani keuangan nasional dan menjadi penghambat bagi pertumbuhan ekonomi,” ungkap Dwi.
Ia menambahkan, SKK Migas juga telah mencanangkan peningkatan produksi minyak 1 juta barrel dan gas 12 BSCFD di tahun 2030 dari rata-rata produksi saat ini yang sekitar 700 ribuan barel minyak.
Tentunya saja merealisasikan target 2030 ini adalah pekerjaan yang sangat berat, namun hal ini harus dilakukan, sebab jika target ini tidak tercapai dapat dibayangkan beban negara dimasa yang akan datang .
“Ditengah persaingan antar negara yang sangat ketat dalam menarik investasi hulu migas, potensi hulu migas Indonesia juga telah bergeser dari wilayah barat ke wilayah timur yang masih minim infrastruktur dan sebagian berada di laut dalam dengan resiko yang lebih tinggi dan kebutuhan investasi yang sangat besar,” tutur Dwi.
“Kami bersyukur Pemerintah telah mulai memberikan insentif, termasuk split yang lebih fleksibel yang saat ini sudah dilihat dari potensi dan tantangan per wilayah kerja hulu migas. Untuk lapangan marginal dan jauh dari infrastruktur pengolahan, SKK Migas dan KKKS mulai mengimplementasikan monetisasi lapangan yang menghasilkan gas dengan mengolah menjadi produk melalui mini LNG dan lainnya seperti yang sedang dilakukan di WK Simenggaris Kalimantan,” sambung Dwi.
Lebih jauh, Dwi menjelaskan, terdapat pula tantangan maupun perubahan potensi migas di Indonesia yang saat ini dan kedepannya akan lebih dominan gas dibandingkan minyak. Salah satu tantangannya adalah di blok migas yang memiliki kandungan gas sangat besar seperti Natuna memiliki kandungan CO2 yang sangat tinggi sekitar 70%.
“Begitu juga dengan di wilayah kerja EMCL yang belum diproduksi yang memiliki potensi gas dengan kandungan CO2 antara 20%-30%. Penanganan CO2, selain kebutuhan korporasi, juga tuntutan dari negara asal yang sudah menandatangani penurunan emisi,” ujarnya.
Sementara, Rektor ITS, Prof. Dr. Ir. Mochamad Ashari, menuturkan bahwa, ITS telah memiliki wadah untuk bekerjasama dengan instansi lain.
“Baik kerjasama dalam kerangka tidak komersial maupun yang bersifat komersial. Mencermati apa yang disampaikan Kepala SKK Migas mengenai potensi hulu migas dan tantangannya, saat ini ITS memiliki 10 pusat keunggulan termasuk didalamnya adalah artificial intelligence, robotic, energi, iptek dan lainnya,” urai Prof. Dr. Ir. Mochamad Ashari.
“Melalui keunggulan ini, ITS siap untuk bekerjasama dengan SKK Migas menjadi bagian dalam perjuangan meningkatkan produksi migas nasional dan meningkatkan daya saing dengan implementasi teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi biaya. Melalui penerapan revolusi industry 4.0, maka upaya untuk menjadikan hulu migas yang ramah lingkungan menjadi lebih mudah diwujudkan”, kata Rektor ITS.