Keselamatan di Atas Segalanya: Pengamat Maritim Soroti Bahaya Kebakaran Kendaraan Listrik Jelang Nataru

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, ruangenergi.com – Menjelang masa liburan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025, arus penumpang yang menggunakan moda transfortasi laut diperkirakan kembali melonjak di berbagai pelabuhan utama Indonesia. Gelombang masyarakat yang hendak mudik, berwisata, atau sekadar menyeberang antarpulau, membuat pelabuhan menjadi simpul keramaian yang padat dan penuh risiko.

Di tengah lonjakan mobilitas tersebut, pengamat maritim DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.Si.T., S.H., M.H., M.Mar., mengingatkan kepada pihak terkait bahwa keselamatan penumpang harus menjadi prioritas mutlak, terutama ketika infrastruktur laut nasional belum sepenuhnya siap menghadapi tantangan baru seperti potensi kebakaran kendaraan listrik.

“Momen Nataru selalu membawa lautan manusia ke pelabuhan. Di situlah risiko meningkat, dan di situlah negara harus hadir dengan standar keselamatan yang tidak boleh dinegosiasikan,” ujar Capt. Hakeng di Jakarta, Minggu (14/12/2025).

Lebih lanjut ia menekankan pula bahwa perjalanan laut bukan sekadar perpindahan fisik dari satu pulau ke pulau lain, tetapi sebuah ritus kebangsaan yang menuntut kedisiplinan, kepedulian, serta kesadaran kolektif.

“Manifes penumpang yang akurat, briefing keselamatan yang dipahami semua orang, serta jalur evakuasi yang dikuasai petugas adalah sebagai syarat minimum agar lonjakan arus pada musim liburan tidak berubah menjadi potensi tragedi,” tegas Capt. Hakeng.

Dijelaskan pula oleh pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC) ini, bahwa salah satu isu yang mencuat jelang Nataru, adalah kebijakan sejumlah otoritas pelabuhan yang melarang sementara mobil listrik naik kapal feri. Kebijakan tersebut memicu perdebatan publik, terutama di kalangan pengguna kendaraan listrik yang merasa pembatasan itu menghambat mobilitas mereka. Namun bagi Capt. Hakeng, keputusan otoritas pelabuhan tersebut bukan hanya tepat, melainkan merupakan tindakan yang sangat rasional dan berbasis sains.

“Pelarangan mobil listrik di kapal feri sama sekali bukan anti-modernitas. Ini keputusan berbasis sains dan keselamatan publik, bukan sentimen terhadap teknologi baru,” tegasnya, seraya menambahkan bahwa baterai lithium-ion yang menjadi sumber tenaga kendaraan listrik menyimpan energi dalam densitas yang sangat tinggi.

Dalam kondisi stabil, teknologi itu mewakili masa depan transportasi dan efisiensi energi. Namun kegagalan baterai dapat memicu thermal runaway, yaitu reaksi berantai yang menghasilkan panas ekstrem, ledakan kecil, serta api yang sulit dipadamkan. Situasi tersebut, menurut Capt. Hakeng, sangat berbeda dengan kebakaran kendaraan konvensional yang umumnya dapat ditangani dengan teknik pemadaman standar. Dunia maritim memiliki tantangan yang jauh lebih rumit: ruang sempit, ventilasi terbatas, serta jalur evakuasi yang kecil dan kerap dipadati penumpang.

“Maka api dari baterai lithium-ion tidak tunduk pada logika pemadaman konvensional. Alat pemadam dari Air, busa, dan CO₂ semuanya tidak efektif. Jika kebakaran terjadi di geladak kapal, situasinya bisa menjadi sangat berbahaya dalam waktu sangat cepat,” ujar Capt. Hakeng seraya menceritakan sejumlah kasus global sebagai peringatan keras. Pada 2022, kapal kargo Felicity Ace terbakar di tengah Samudra Atlantik.

Kebakaran yang melibatkan kendaraan listrik tersebut membuat proses pemadaman nyaris mustahil dan berujung pada tenggelamnya kapal. Insiden serupa juga terjadi di Norwegia, ketika sebuah kendaraan listrik terbakar di terminal pelabuhan, tetap menyala meski disiram air berkali-kali, dan mengakibatkan aktivitas dermaga lumpuh selama berjam-jam.

Ditambahkan olehnya bahwa di Indonesia sendiri pun pernah menghadapi situasi yang mengarah pada risiko serupa. Di Merak pada 2023, sebuah mobil listrik terbakar tidak lama sebelum naik ke kapal feri, memaksa otoritas menghentikan antrean dan mengevakuasi ratusan penumpang dari area keberangkatan. Kasus lain terjadi di Surabaya ketika sebuah motor listrik mengalami overheating di area menunggu kapal cepat, memicu kepanikan dan memaksa petugas melakukan langkah darurat.

“Kalau di dermaga terbuka saja penanganannya sulit, bayangkan apa jadinya jika kejadian itu berlangsung di geladak kapal yang tertutup dan penuh sesak. Ini bukan alarm palsu. Ini ancaman nyata,” kata Capt. Hakeng.

Pengamat maritim yang dikenal kritis ini pun menambahkan, bahwa geladak kendaraan pada kapal feri biasanya diisi kendaraan secara rapat untuk mengoptimalkan kapasitas angkut.

Kondisi tersebut membuat aliran panas terperangkap dan ruang gerak menjadi terbatas. Jika terjadi thermal runaway, suhu dapat melampaui 1.000°C, cukup untuk melemahkan struktur baja kapal dan merusak kabel-kabel vital yang menopang sistem kelistrikan dan keselamatan kapal. Karena itu, menurut Capt. Hakeng, risiko kebakaran kendaraan listrik di atas kapal feri jauh lebih besar daripada kendaraan berbahan bakar fosil.

Bersamaan pula ia menyayangkan bahwa Indonesia belum memiliki sarana penting untuk menghadapi potensi kebakaran kendaraan listrik di lingkungan maritim. Sarana tersebut mencakup kontainer isolasi khusus untuk kendaraan listrik yang bermasalah, sistem pendinginan cepat untuk memperlambat reaksi kimia dalam baterai, awak kapal yang terlatih menghadapi skenario thermal runaway, serta prosedur evakuasi yang dirancang khusus untuk tipe kebakaran yang tidak bisa dipadamkan dengan metode konvensional.

“Dengan kondisi seperti ini, pelarangan EV bukan pilihan politik. Ini pilihan keselamatan,” tegas Capt. Hakeng.

Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa edukasi publik harus diperkuat menjelang masa liburan akhir tahun. Manifes yang lengkap, pembatasan muatan kendaraan, pemisahan kendaraan pribadi dan kendaraan logistik, serta pemeriksaan menyeluruh terhadap kondisi kendaraan harus diterapkan secara ketat, bukan sekadar imbauan yang bisa diabaikan. Ia menilai bahwa otoritas pelabuhan harus memastikan setiap operator kapal mematuhi standar keselamatan modern.

Capt. Hakeng juga mendesak pemerintah menerbitkan regulasi teknis yang lebih tegas dan mengikat mengenai pelarangan mobil listrik di kapal feri. Menurutnya, aturan yang berlaku saat ini masih terlalu umum dan tidak detail dalam menetapkan standar operasional lapangan. Ia merekomendasikan agar pelarangan tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan menteri yang memuat definisi risiko, standar pengecekan kendaraan, ketentuan penempatan kendaraan di pelabuhan, dan sanksi tegas bagi operator yang melanggar.

Selain itu, Capt. Hakeng mendorong pemerintah membangun infrastruktur penanganan kebakaran EV di pelabuhan, seperti kontainer isolasi tahan panas dan sistem deteksi dini berbasis sensor suhu.

“Tanpa infrastruktur, larangan hanya jadi tulisan tanpa makna,” ujarnya seraya meminta pemerintah memastikan setiap operator feri melaksanakan pelatihan berkala menghadapi skenario kebakaran baterai, terutama menjelang periode puncak Nataru.

“Simulasi itu tidak bisa sekadar formalitas. Harus realistis, harus serius,” tegasnya.

Menurut Capt. Hakeng, pemerintah daerah pun memegang peran strategis dalam pengawasan lapangan karena pelabuhan merupakan titik pertemuan antara laut dan daratan. Pemerintah daerah memiliki kapasitas untuk melakukan inspeksi kendaraan, memastikan kepatuhan prosedur keselamatan, dan melakukan edukasi langsung kepada masyarakat. Diingkannya pula bahwa keselamatan laut bukan semata-mata urusan teknis pelayaran, melainkan bagian dari strategi nasional menjaga stabilitas sosial dan ekonomi Indonesia.

“Dalam konteks negara kepulauan, laut adalah urat nadi, dan keselamatan adalah denyut yang menjaganya tetap hidup,” ujarnya serya meminta pemerintah pusat, pemerintah daerah, operator kapal, dan masyarakat untuk menempatkan keselamatan sebagai prioritas utama pada musim Nataru tahun ini.

“Nataru bukan sekadar liburan. Ini ujian kedisiplinan kita sebagai bangsa. Kita ingin orang pulang dengan selamat, bukan dengan cerita buruk. Itu tujuan utamanya,” imbuh Capt. Hakeng.