Jakarta,ruangenergi.com–Belakangan ini marak di kalangan warganet alias netizen, adanya aksi dari seorang pria bernama Gustaf Al Ghozali, seorang mahasiswa yang belajar studi animasi, menjual foto selfie di platform Non Fungible Token (NFT) senilai miliaran rupiah.
Selain NFT, kini jagad maya juga marak dengan Metaverse, ciptaan Neal Stepshon. Pria ini menyebutkan istilah tersebut pada novelnya di tahun 1992 yang berjudul Snow Crash. Istilah metaverse merujuk pada dunia virtual 3D yang dihuni oleh avatar orang sungguhan.
Metaverse tidak memiliki definisi yang bisa diterima secara universal. Bayangkan saja metaverse adalah internet yang diberikan dalam bentuk 3D.
Adalah Mark Zuckerberg,pendiri Facebook, menggambarkan metaverse sebagai lingkungan virtual yang bisa Anda masuki, alih-alih hanya melihat layar.Jika dipersingkat, ini adalah dunia komunitas virtual tanpa akhir yang saling terhubung. Di mana, orang-orang dapat bekerja, bertemu, bermain dengan menggunakan headset realitas virtual, kacamata augmented reality, aplikasi smartphone dan atau perangkat lainnya.
Metaverse, memungkinkan siapapun untuk melakukan hal-hal,antara lain seperti pergi ke konser virtual, melakukan perjalanan online, membuat atau melihat karya seni dan mencoba pakaian digital untuk dibeli.
Metaverse bisa menjadi game-changer untuk sistem shift kerja dari rumah atau work from home di tengah kondisi pandemi Covid-19. Alih-alih hanya dapat melihat rekan kerja di kotak panggilan video seperti aplikasi video conference, karyawan bisa bergabung bersama di kantor virtual.
Platform digital Facebook telah meluncurkan software meeting untuk perusahaannya yang disebut Horizon Workrooms dan digunakan dengan headset Oculus VR-nya. Headset yang berharga USD 300 lebih ini membuat pengalaman Metaverse paling mutakhir di luar jangkauan orang-orang.
Melansir omongan Zuckerberg, dia menyebutkan banyak pengalaman metaverse yang akan hadir di sekitar untuk menciptakan kemampuan berteleportasi dari satu pengalaman ke pengalaman lainnya. Perusahaan-perusahaan teknologi harus mencari cara untuk bisa menghubungkan platform online mereka satu sama lainnya.
Apakah Metaverse Bisa Untuk Jualan Blok Migas dan Tambang?
Pertanyaan ini menggelitik untuk mengkajinya. Selama ini di dalam penawaran wilayah kerja perminyakan alias tender blok minyak dan gas (migas) di dunia, memakai metode konvensional. Otoritas migas mengumumkan tender dengan membuka data room wilayah kerja/blok migas yang ditawarkan.
Begitu juga di blok tambang mineral dan batubara. Otoritas Mineral dan atau Batubara menerima pengajuan permohonan membuka tambang mineral atau batubara oleh para investor penambang. Atau, bisa juga otoritas membuka lelang wilayah ijin usaha pertambangan (WIUP).
Kalau di jagad maya ada istilah ‘nambang kripto”, nah di tambang pun akan menarik sekali bisa diwujudkan secara digital. Kira-kira bisa tidak ya menambang tanpa eksplorasi dan produksi? Sudah begitu, kepemilikan tambang metaverse diakui dan bisa diperjual-belikan (monetisasi) semudah mengklik akun e-banking.
Akan menarik sekali, jika blok migas itu menjadi blok migas metaverse. Investor siapapun di belahan dunia, bisa membelinya dengan mudah. Bahkan untuk menjualnya mudah secara digital. Gonta-ganti kepemilikan di wilayah kerja bisa dilakukan secara digital.
Bagi para pencinta Metaverse, hal ini dipercaya bisa menjadi sebuah langkah awal yang memberikan kesempatan untuk mewujudkan dunia digital agar lebih komprehensif dan inklusif. Mungkinkah blok migas dan tambang metaverse diwujudkan? Sebuah tantangan menarik untuk dicoba oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM).