Jakarta, ruangenergi.com – PT Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT) menunjukkan komitmen serius dalam memberdayakan masyarakat melalui berbagai program mitra binaan dan pengembangan masyarakat (PPM).
Salah satu program unggulan yang dikembangkan oleh PHKT adalah “Semur Cendawan”, yaitu budidaya jamur dengan pendekatan cerdas dan berwawasan pangan, yang berlokasi di Kelurahan Waru, Kecamatan Waru, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Anita, Community Development Officer PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI), menjelaskan bahwa Pertamina Hulu Kalimantan Timur, anak perusahaan dari PHI, sangat memperhatikan kesulitan yang dihadapi masyarakat Desa Waru, terutama terkait banyaknya serbuk gergaji kayu yang tersisa di sana.
“Berawal dari potensi dan semangat ibu-ibu di sini yang sangat besar, namun pendapatan mereka fluktuatif karena kebanyakan bekerja sebagai buruh sawit, PHKT akhirnya merancang program budidaya jamur dengan memanfaatkan limbah serbuk kayu. Pada tahun 2022, kami memulai inisiatif ini dengan menyediakan peralatan tepat guna dan mesin untuk meningkatkan produktivitas. Selain itu, kami juga mengadakan pelatihan terkait pembuatan bibit F-0, yang merupakan salah satu kunci keberhasilan budidaya jamur,” kata Anita, seperti dilaporkan oleh Bagas Fahrezi, reporter ruangenergi.com, Kamis (26/09/2024) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Anita menjelaskan bahwa sebelumnya, bibit jamur dibeli dari Pulau Jawa, namun rentan terhadap kontaminasi dan harganya mahal. Oleh karena itu, PHKT memberikan peralatan dan pelatihan untuk pembuatan bibit jamur secara mandiri.
“Kami menyediakan alat bernama Autoclave untuk pembuatan bibit F-0. Alat ini bisa dikatakan satu-satunya yang mampu memproduksi bibit jamur di Penajam, dan keberhasilan budidaya jamur yang paling menonjol di Kabupaten Penajam Paser Utara ada di Waru,” ujar Anita dengan wajah berseri-seri di hadapan sekelompok wartawan yang berkunjung ke sana.
Tidak berhenti sampai di situ, budidaya jamur di Waru terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2023, kapasitas produksi di Waru mencapai sekitar 10 ribu baglog, meskipun itu belum mencukupi kebutuhan pasar.
“Kebutuhan pasar di Kelurahan Waru saja mencapai sekitar 50 kilogram. Bagi yang sudah familiar dengan budidaya jamur, mungkin di wilayah Bandung yang sejuk lebih mudah. Namun, di Kalimantan Timur yang cenderung panas, kita perlu inovasi seperti rekayasa cuaca dan alat penyemprotan,” tambah Anita.
Mengenai harga jamur, Anita menjelaskan bahwa berbeda dengan harga di Pulau Jawa yang berkisar Rp20 ribu per kilogram, di Kalimantan Timur harganya bisa mencapai Rp40 ribu per kilogram.
“Harganya lebih mahal daripada ayam, fantastis. Ibu-ibu di sini mendapatkan manfaat dari budidaya jamur ini. Namun, kendalanya adalah pemasaran. Alhamdulillah, sekarang sudah ada pasar di sini, bahkan restoran di IKN juga sudah mengambil jamur dari sini,” ungkap Anita dengan senang.
Tantangan bagi PHI dan PHKT adalah meningkatkan ketertarikan warga di luar Waru agar mau mengikuti jejak budidaya jamur seperti yang sudah dilakukan di sana.
“Kami memiliki sistem bernama Mitra Pusma yang diterapkan di tiga desa: Giri Mukti, Api-Api, dan Sesulu. Sistem ini menyediakan baglog secara gratis, tetapi mereka harus menjual hasil panen jamur kembali ke Waru. Tidak semua orang memiliki kemampuan untuk membuat media tanam ini beserta bibitnya, sehingga kami memberikan baglog dan bibit secara gratis,” jelas Anita.
Anita juga menambahkan bahwa terjadi kolaborasi positif antar divisi di PHKT untuk mendukung program budidaya jamur ini, seperti inovasi peralatan Bumantara, alat yang menciptakan kabut untuk menjaga kelembaban ruangan jamur, serta alat Semenjana untuk sterilisasi yang dirancang untuk menampung baglog dengan memanfaatkan limbah non B3 perusahaan, dan dimanfaatkan oleh kelompok tani di Waru.
Inovasi terbaru lainnya yang dikembangkan oleh tim PHKT adalah Komjen Bu Surya, yaitu Kompor Minyak Jelantah dengan Wind Blower Tenaga Surya.
“Inovasi ini lahir dari kebutuhan energi yang tidak pasti di kalangan teman-teman kelompok tani di sini. Sebelumnya mereka menggunakan LPG yang mahal dan sulit didapatkan. Di Jawa, harga LPG mungkin di bawah Rp20 ribu per tabung 3 kg, tetapi di sini bisa mencapai Rp50 ribu per tabung, dan ketersediaannya pun langka. Untuk itu, kami membuat inovasi Komjen Bu Surya,” pungkas Anita mengakhiri paparannya.