Ruang Energi.com, Jakarta – Menanggapi adanya pernyataan dari Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia (ADPPI), bahwa Rancangan Undang- Undang EBT menciptakan tumpang tindih regulasi.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma kepada ruangenergi.com menuturkan, bahwa sebagian dari pernyataan ADPPI itu ada benarnya. Misalnya bahwa UU No.30 tahun 2007 Tentang Energi memang belum diikuti dengan PP secara komprehensif.
“Tetapi persoalannya perlu adanya UU Energi Terbarukan, bukan UU EBT sebagaimana usulan draft yang berkembang, jauh lebih penting dari hanya sekedar diatur dalam PP. Karena itu, tidak seluruh pernyataan itu benar”, tutur Surya Darma, Jum’at(5/2/21).
Lebih lanjut Surya Darma menjelaskan, yang pertama bahwa masih ada kekosongan hukum dalam irisan perundang-undangan sektor energi. Sebagaimana diketahui di sektor energi dgn adanya UU Energi, untuk sumberdaya energi sudah diatur seperti UU Migas, UU Minerba, UU Ketenaganukliran, UU Ketenagalistrikan dan UU Panas Bumi untuk energi terbarukan.
“Dari irisan ini jelas terlihat belum ada UU tentang Energi Terbarukan (ET, bukan EBT ). Karena itu diperlukan adanya UU ET untuk sinkronisasi pengaturan pada level UU bukan pada level PP”, jelasnya
Surya menambahkan, seharusnya ADPPI memahami kekosongan hukum ini. Mungkin mereka hanya fokus pada panas bumi sesuai dengan bidangnya , sehingga tidak bisa memahami kebutuhan payung hukum energi terbarukan lainnya di luar panas bumi.
Selain itu, kata Surya, UU ET juga diperlukan untuk memberikan adanya kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi energi terbarukan serta memberikan daya tarik investasi dengan pengaturan beberapa hal.
Misalnya belum ada kewajiban PLN sebagai single buyer yang diatur dalam UU Ketenagalistrikan untuk membeli listrik dari energi terbarukan. Padahal, jika PLN tidak mau membeli listrik dari energi terbarukan, maka tidak ada pihak lain yg bisa membelinya yang bertentangan dengan UU Ketenagalistrikan. Tidak mungkin mengatur di PP apalagi dalam Permen yang berbeda dari UU. Karena itu jika perlu ada kesamaan perlakuan, juga perlu diatur dalam UU. Disinilah UU ET mengatur hal ini. Karena itu, selama ini panas bumi pun tidak ada kewajiban dibeli oleh PLN karena tidak ada klausul itu.
Masih ada beberapa aspek lain yang belum diatur di UU yang sudah ada. Termasuk soal dana energi terbarukan, standar portofolio energi terbarukan, sertifikat energi terbarukan, harga energi terbarukan, dan tentu saja untuk ini diperlukan adanya Badan Pengelola Energi Terbarukan.
Semua itu dibutuhkan oleh para pelaku jika ingin usaha energi terbarukan dapat berkembang. ADPPI hanya melihat dari sisi yang terbatas panas bumi yang jika dilihat juga tidak bisa berjalan sebagaimana diharapkan karena berbagai kendala yang selama ini dikeluhkan para pelaku usaha termasuk pihak pemerintah sendiri. BPET yang dibentuk tidak harus membentuk Badan Baru. Bisaa saja mengoptimalkan Badan yang sudah ada seperti BPDPKS atau BPDLH. Tetapi dengan tugas yang jelas sebagai Badan Pengelola ET termasuk diantaranya mengelola dana ET.
” Kami dari METI sudah menyampaikan usulan tugas2 BPET yang perlu dimasukkan dalam RUU ET. Bahkan BPDPKS dan BPDLH juga busa disatukan dengan penguatan otoritas dan tugas yang langsung berada dibawah Preside”,kata Surya
METI yakin jika ADPPI mengkaji lebih dalam, akan dapat memahami usulan itu.
“Kita sudah berusaha nengembangkan panasbumi sejak tahun 1970 an. Seharusnya kapasitas PLTP kita sudah jauh lebih besar dari kapasitas sekarang baru ada sekitar 2,1 GW. Hal Ini bisa saja terjadi karena banyak faktor kendala itu”, tutup Surya Darma