Ketum METI : PLTS Bisa Jadi Opsi Percepat Bauran Energi 23%

Jakarta, ruangenergi.comKetua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menyatakan, saat ini berbagai negara sedang trend utk meningkatkan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

Di kawasan Asia ada Cina dan India yang sangat agresif membangun PLTS sebagai upaya menurunkan emisi GRK yang selama ini mereka hasilkan dari PLTU yang mereka punya. Hal yang sama dilakukan beberapa negara di kawasan ASEAN seperti Vietnam.

Indonesia sendiri sudah tertinggal jauh dari negara2 itu walaupun program PLTS dalam KEN diharapakan ada 6,5 GW pada tahun 2025. Faktanya, kapasitas terpasang PLTS di Indonesia baru sekitar 200 Mega Watt (MW) sangat jauh dari target RUEN.

Bahkan upaya meningkatkan pemasangan energi matahari ini melalui solar roof top juga berjalan agak lamban walaupun sudah ada gerakan sejuta surya atap yang dicanangkan METI bersama berbagai stakeholders terutama kementerian ESDM.

“Padahal, potensi energi surya di Indonesia mencapai lebih dari 400 Giga Watt (GW). Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sangat jelas menyebutkan bahwa kontribusi energi matahari dalam bauran enethi nasional adalah sebesar 6,5 GW pada 2025”, Kata Surya Darma(28/3/21).

Lebih lanjut Surya Darma menuturkan, target PLTS PT PLN (Persero) yang dituangkan dalam RUPTL menargetkan pada 2028 hanya 2 GW. Hal ini mendalam bahwa ada hal yang tidak sinkron dalam perencanaan energi nasional pada tataran kebijakan yang dibuat pemerintah dan tataran implementasi yang dijalankan PLN. Ini menjadi salah satu kendala utama kecilnya realisasi PLTS di Indonesia.

“Jika dalam perencanaannya dalam implementasi kecil, berarti usaha untuk meraih target itu juga kecil. Akibatnya PLTS belum menjadi prioritas dalam implementasi. Kami melihat bahwa PLTS seperti jalan ditempat. Sangat berbeda dengan agresifnya beberapa negara lain dikawasan ASEAN”, tegasnya

Kondisi pengembangan PLTS seperti ini akan terus berlangsung apabila pemerintah tidak bisa menghadapi beberapa tantangan yang tengah dihadapi dan hanya bisa diselesaikan melalui kebijakan pemerintah. Jangan pernah melepaskan program pembangunan energi hijau dan energi rendah emisi karbon hanya kepada kebijakan dan strategi pelaku usaha khusunya PLN dalam membeli energi listrik dari PLTS.

Apalagi jika pemerintah menetapkan tarif listrik dari energi terbarukan sangat tidak menarik karena hanya 85% dari Biaya Pokok Produksi (BPP) yang bisa diartikan energi terbarukan memberikan subsidi pada energi fosil yang masuk dalam bauran pembangkitan listrik di tanah air. Selain itu masjh ada juga tantangan lain untuk membangun PLTS di Indonesia karena suku bunga bank lokal ke pengembang masih tinggi antara 10% hingga 12%.

Belum lagi ada syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang tinggi. Bagi pengusaha yang harus mendapatkan tingkat pengembalian yang memadai untuk memperoleh nilai keekonomian.
Pengembang mengalami kondisi yang dilematis karena tarif tidak menarik dengan 85% BPP, tapi harus menggunakan modul lokal dari pada menggunakan bahan impor, yang lebih murah. Kalau dalam Permen No.50 Tahun 2017, masih ada lagi kesulitan dengan skema build, own, operate, transfer (BOOT).

Masalah ini sudah diselesaikan dengan adanya Permen ESDM yang baru yang membolehkan BOO atau BOOT sesuai kesepakatan, sehingga BOOT sudah tidak menjadi isu utama. Masalah lain yang juga menantang dalam pengembangan PLTS di Indonesia adalah adanya alokasi risiko yang tidak seimbang.

Semua risiko dalam pengembangan PLTS itu yang menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan untuk pembangunan PLTS di Indonesia diserahkan pada pengembang yang menyebabkan tingginya resiko.

Sebetulnya ada langkah dan pola yang baik yang bisa dicontoh oleh pemerintah Indonesia, misalnya pola agresifnya oembangunan PLTS di India karena salah satu diantaranya adalah tidak ada syarat TKDN untuk proyek yang dikerjakan perusahaan swasta.

TKDN hanya diwajibkan bagi perusahaan negara. Beberapa insentif sebagai oercontohan bisa dilihat dalam pembangunan PLTS di Uni Emirat Arab, dimana pemerintah yang menyediakan lahan PLTS secara gratis serta suku bunga yang ditawarkan perbankan sangat bervariasi yang bahkan ada yang bisa samoai nol persen atau paling tidak, sangat kompetitif tidak lebih dari 3,6%.

Ada lagi negara dengan tren pengembangan PLTS paling cepat karena berbagai insentif ditawarkan oleh pemerintah, yaitu Brazil. Brazil menawarkan diskon untuk transmisi dan distribusi listrik, memberikan pinjaman lunak untuk pengembangan yang memenuhi syarat TKDN serta suku bunga rendah kurang dari 1%. Hal ini tentu saja akan menghasilkan harga listrik yang rendah dan kompetitif.

Karena itu, pemerintah Indonesia bisa mengambil pelajaran dari beberapa negara lain dengan memberikan beberapa insentif serupa jika ingin PLTS tumbuh cepat sesuai rencana RUEN.

Sekarang ada pola PLTS terapung yang tidak harus membayar pengadaan lahan dan bisa juga dilakukan dengan pola yang sama dengan penyediaan lahan untuk proyek PLTS, menurunkan suku bunga serta relaksasi syarat TKDN.

METI tentu saja sangat mendukung upaya pemerintah meningkatkan TKDN sebagai upaya alih teknolohi. Namun jangan dkbebankan pada pengembang untuk mendapatkan harga yang kompetitif. Kebijakan ini harus diimbangi dengan insentif lain.

“Karena itu, regulasi yang ada sekarang memang harus diperbaiki dan direvisi untuk memungkinkan adanya beberapa perubahan klausul yang tidak sesuai denga harapan pengembangan PLTS saat ini. Rencana terbitnya Perpres energi terbarukan harus segera direalisasikan. Kami tentu saja mendorong agar pemerintah tetap menyadari pentingnya kebijakan itu”,pungkas Surya Darma

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *