Ketum METI Surya Darma: Polemik Tidak Akan Terjadi Jika Tetap Memakai RUU ET

Jakarta, ruang energi– Dalam upaya mendukung pemanfaatan energi baru terbarukan   Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dalam rangka Law Fair XII tahun 2021 menggelar seminar dengan Topik ” Polemik RUU EBT” secara virtual yang dihadiri hampir 300 peserta, mahasiswa dan para dosen.

Tampil sebagai pemateri, Diah Roro Esti (Komisi VII DPRRI), Dr. Hendra Iswahyudi (Direktur Infrastruktur Ditjen EBTKE ESDM), Dr. Surya Darma (Ketua Umum METI) dan Dr. Indah Dewi Qurbani SH., MH (Ketua Departemen Hukum Tata Negara Unibraw).

Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti menyampaikan, bahwa untuk mendukung pengembangan energi terbarukan di Indonesia, pihaknya kini tengah mendorong penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT.

Dyah menjelaskan, aturan tersebut merupakan upaya untuk mendorong agar pemerintah bisa mengatur memanfaatkan pengembangan EBT di Indonesia dengan lebih cepat dan terarah.

Selama ini, target pemanfaatan EBT masih sangat rendah dibandingkan dengan target 23% tahun 2025. Pekan lalu, saat saya hadir dalam pertemuan dengan Alok Sharma dan para pemuda di seluruh dunia untuk mendorong penurunan emisi karbon, saya menyampaikan bahwa Indonesia sudah komit berupaya untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29% tahun 2030 sesuai dengan NDC sebagai implementasi dari Perjanjian Paris yang sudah diratifikasi menjadi UU No.16 Tahun 2016.

Penurunan emisi ini kontribusi dari  ET sebesar 11%, kehutanan 17% dan sektor lainnya 1%. Karena itu, betapa pentingnya sektor ET untuk Penurunan emisi.

Banyak potensi ET di Indonesia, tapi masalahnya adalah ET masih kurang kompetitif.

“Apa yang kita lakukan selalu kalah sama dunia fosil. Mudah-mudahan kita bisa komit, bisa lebih berani dan mempunyai tekad untuk lakukan perubahan yang sangat dibutuhkan oleh bangsa melalui RUU EBT,” tutur Dyah Roro Esti

Ketika dipancing oleh salah satu pembicara, Ibrahim dari mahasiswa Hukum Unibraw tentang kecendrungan adanya polemik dengan masuknya nuklir dalam RUU EBT, padahal yang dibutuhkan adalah ET, Diah Roro tidak memberikan klarifikasi soal polemik masalah ini.

Sementara itu Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, yang diwakili Dr. Hendra menjelaskan, bahwa porsi pemanfaatan energi baru dan terbarukan nasional baru mencapai 11,2%. Target ke depan adalah EBT dapat meningkat sebesar 23% pada 2025. Selama ini salah satu kendalanya adalah soal regulasi.

“Untuk itu Kementerian ESDM memberikan dukungan atas RUU EBT. Menyinggung soal substansi, Hendra banyak mengupas lebih detail yang diharapkan agar bisa berjalan. Misalnya, soal dana energi terbarukan, perlu dimasukkan dalam RUU ini agar ada dana khusus untuk pengembangan ET,”ujar Hendra

Hendra menambahkan, jika perlu, ada Badan yang mengelola dana ini, tapi tidak perlu adanya Badan Pengelola ET karena bersentuhan dengan tugas DJEBTKE dan DJK ESDM. Badan untuk mengelola dana ET itu perlu karena banyak kebutuhan dan pemakaian dia untuk investasi ET dimasa mendatang.

Karena itu pula, kami dari ESDM mengusulkan agar substansi RUU EBT itu hanya membahas energi terbarukan tidak perlu memasukkan nuklir karena sudah ada UU tersendiri yaitu UU Ketenaganukliran.

Nuklir yang masuk dalam kategori energi baru, dikhawatirkan kedepan sesuai dengan definisinya tidak lagi masuk dalam energi baru karena landasan disebut energi baru adalah karena teknologinya yang baru. Jadi sebaiknya nuklir dikeluarkan dari RUU EBT tegas Hendra.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum METI Surya Darma menyampaikan bagaimana proses RUU EBT ini dilahirkan dan didorong oleh pemangku kepentingan agar pemanfaatan ET bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Target pemanfaatan ET untuk memenuhi Penurunan emisi karbon sesuai dengan NDC masih jauh dari harapan karena belum ada political will dan kepastian hukum, kepastian usaha dan aspek legal lainnya. Karena itu RUU ET sudah digagas sejak tahun 2017, diinisiasi DPDRI sebagai RUU ET dan terus bergulir ke DPRRI kemudian berubah menjadi RUU EBT.

Saat ini bahkan ada polemik seperti yang diangkat dalam topik seminar Law Fair XII Unibraw 26 Juni 2021. Karena itu, METI tetap mengusulkan agar upaya melahirkan UU ET sebagai payung hukum pengusahaan ET adalah untuk mencari solusi dalam upaya meningkatkan pemanfaatan ET agar sesuai dengan target KEN dan RUEN.

Namun yang terjadi justru muncul masalah baru, ada polemik baru dengan masuknya substansi nuklir dalam RUU EBT. Padahal, nuklir sesungguhnya bukan target yang selama ini menjadi masalah utk diselesaikan.

Apalagi, masalah nuklir juga sudah diatur dalam UU Ketenaganukliran dan bahkan juga sudah dimasukkan dalam UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Omnibus Law.

Nuklir juga sudah ada Badan Pengawas Nuklir, Bapeten yang diatur UU tersebut. Jadi tidak layak dimuat dalam RUU EBT Karena itu, METI mengusulkan agar fokus RUU EBT itu judulnya diganti embjadi RUU ET dan subsnasi juga hanya membahas masalah ET.

Kalau pun RUU nya tidak diubah, tetap RUU EBT, tetapi substansi tetap membahas ET dengan hanya memasukkan energi baru yang berasal dari energi terbarukan seperti hidrogen. Masalah nuklir, tidak diatur dalam UU EBT karena banyak substansi yang kompleks yang harus dimuatnseperti masalah teknis, masalah sumberdaya yang mungkin harus diimpor juga karena keterbatasan sumberdaya nuklir dalam negri, masalah waste dari nuklir dan lain-lain.

Dirinya juga mengatakan untuk menuju pada Net Ero emision tahun 2050, energi terbarukan cukup memadai potensinya. Kita upaya kan kalau bisa 50% energinitu sudah harus dipatok dari energi terbarukan.

“METI sendiri sudah membuat sebuah inisiatif yang diberinam “Indonesia Renewable Energy 50/50 Initiative”. Ini berarti memenuhi energi 50% berasal dari energi terbarukan pada tahun 2050,”jelas Surya Darma

Hal ini perlu ada strategi khusus dan langkah aksi utk implementasi oleh pemangku kepentingan.

Senada dengan METI, Dr. Indah Dewi Qurbani malah sudah melakukan kajian terhadap draft RUU EBT yang sudah ada. Pengaturan EBT sudah terdapat dialam beberapa UU, seperti UU tentang Energi, UU aketenaganukliran, UU Pengelolaan Sampah, UU Ketenagalistrikan, UU Pans Bumi dan UU Cipta Kerja.

Tetapi dalam UU tersebut yang belum terlihat adalah pengaturan tentang ET yang bisa memberikanbkepastian hukum dan kepastian usaha serta mendorong pemanfaatannya.

“Karena itu, draft RUU EBT itu harus disinkronisai agar tidak terjadi tumpang tindih jika masih tetap menggunakan namanya RUU EBT. Tetapi jika menggunakan nama RUU ET seperti pandangan METI dan ESDM tentu polemik ini sudah selesai,” kata Indah

Dr. Indah malah mengusulkan, harusnya saat ini bisa memanfaatkan isu Green constitution yabg sudah diperkenalkan dalam konstitusi kita. Jadi sekarang adalah kesempatan melahirkan UU yang pro pada keberlanjutan dan hijau.

Menurutnya ada temuan prospektif dari kajian terhadap RUU EBT yang sedang dibahas saat ini. RUU EBT ini harus menjadi momentum kepastian hukum menuju energi bersih terbarukan. Beberapa pasa yang kontradiktif itu harus dihilangkan.

Perencanaan rendah karbon itu harus menjadi perencanaan oleh semua Kementerian di Indonesia. UU yang dihasilkan harus dapat menjawab permintaan energi terbarukan yabg terus meningkat dan dapat memperoleh biaya dari pendanaan hijau. Karena itu UU juga harus mampu menjawab harapan lembaga finansial dan Badan usaha yang komit dengan energi terbarukan.

Indah berharap agar Pemerintah agar dapat membuat peta jalan sebagai instrumen pelaksanaan transisi energi di Indonesia. Political leadership akan menjadi aspek yang memengaruhi transisi ke energi terbarukan.

Karena itu, praktek tata kelola, kelembagaan dan keberlanjutan, kualitas dan konsistensi kebijakan dan regulasi akan sangat memengaruhi keberhasilan Indonesia menuju Net Zero Emision.

“Green constitution harus benar-benar bisa diwujudkan untuk pembangunan berkelanjutan, berwawasan lingkungan untuk kesejahteraan sosial dan kedaulatan energi kita sendiri”,tutup Indah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *