PALI,Sumsel, ruangenergi.com – Inilah kisah nyata tentang secercah harapan yang tumbuh di atas lahan gambut yang keras. Bertahun-tahun, Desa Pengabuan di PALI seolah dikutuk kemiskinan; lebih dari sepertiga warganya terjerat garis kemiskinan, dengan rata-rata penghasilan harian hanya setara harga dua bungkus rokok.
Namun, dalam dua tahun terakhir, sebuah keajaiban datang dari limbah yang selalu dibakar: jerami padi. Berkat sentuhan inovasi Program Pertanian Mandiri untuk Desa Tangguh (PERMATA), yang digagas Pertamina EP Adera Field dan PHR, Desa Pengabuan kini tak lagi sama. Proses pengeringan panen yang dulu memakan waktu horor 9 hingga 12 hari, kini tuntas hanya dalam 60-120 menit! Transformasi kilat ini langsung mengubah nasib: pendapatan petani melonjak hingga delapan kali lipat, dan 12 kepala keluarga resmi keluar dari jurang kemiskinan.
Penderitaan Desa Pengabuan sangatlah nyata. Di tengah tantangan cuaca ekstrem, 35,21%dari 1.366 Kepala Keluarga berjuang keras. Penghasilan harian petani hanya berkisar antara Rp45.000 hingga Rp70.000,- Saat panen gagal, jerami sisa padi hanya dianggap sampah, dibakar, dan menambah polusi.
“Kami seperti jalan di tempat. Setiap panen, selalu ada rasa was-was karena cuaca tidak menentu. Apalagi kami harus berjuang mengeringkan padi berhari-hari,” tutur salah satu warga.
Titik balik datang ketika Pertamina meluncurkan PERMATA. Inovasi ini fokus pada perubahan cara pandang terhadap limbah. Jerami, yang tadinya hanya dibakar, kini diolah menjadi briket padat yang memiliki nilai energi tinggi.
Briket inilah yang menjadi bahan bakar utama bagi Dry House (rumah pengering) modern. Ini adalah jantung dari efisiensi yang luar biasa.
Adam S. Nasution, Field Manager Adera, mengatakan, “Program ini bukan sekadar bantuan, tapi merubah mindset. Kami tunjukkan bahwa limbah bisa menjadi energi, dan waktu adalah uang. Ini yang mengubah segalanya.”
Perubahan waktu pengeringan adalah pembeda terbesar yang menaikkan harkat petani.
| DULU (Tradisional) | KINI (Dry House Briket Jerami) |
| Waktu Pengeringan: 9–12 Hari | Waktu Pengeringan: 1–2 Jam |
| Kualitas: Rentan Jamur & Kadar Air Tak Stabil | Kualitas: Stabil (10% Kadar Air) |
| Pendapatan Rata-Rata: Rp 400 Ribu–Rp 500 Ribu/Bulan | Pendapatan Rata-Rata: Rp 3,4 Juta/Bulan |
“Dulu kami hanya menanam, sekarang kami juga mengolah, menjual, dan mengelola. Kami belajar menjadi desa yang Tangguh,” ungkap Sarbini, yang kini merasakan peningkatan pendapatan yang signifikan.
Kisah sukses ini semakin lengkap dengan peran ibu-ibu Desa Pengabuan. Kelompok Wanita Tani (KWT) Selaras Alam, dipimpin Herawati, tak mau ketinggalan. Mereka mendiversifikasi usaha dengan mengolah Tanaman Obat Keluarga (TOGA) seperti jahe dan kunyit.
Produk herbal mereka kini sudah berizin lengkap (NIB, PIRT, dan Halal), siap bersaing di pasar. Tak main-main, omzet gabungan dari usaha KWT dan Kelompok Tani Barokah mencapai Rp 20,4 Juta per bulan!
Di mata perusahaan, program ini bukan sekadar filantropi. Iwan Ridwan Faizal, Manager CID PHR Regional 1 Sumatra, menyebut ini sebagai Gerakan pemberdayaan. “Kami menyentuh akar persoalan melalui pengetahuan, inovasi, dan kelembagaan,” tegasnya.
Secara finansial, investasi sebesar Rp796 Juta telah berbuah manfaat sebesar Rp1,38 Miliar. Ini menunjukkan Social Return on Investment (SRoI) yang positif.
Hebatnya, program PERMATA kini telah mengoleksi tujuh penghargaan nasional, menjadikan Desa Pengabuan model bagi desa lain di Indonesia.
Desa Pengabuan membuktikan bahwa di tengah keterbatasan lahan dan iklim, solusi kreatif dapat lahir. Mereka telah mengubah jerami, simbol kemiskinan, menjadi ’emas’ baru. Kini, dengan pengelolaan limbah yang lebih baik dan penggunaan PLTS, desa ini tak hanya kaya secara ekonomi, tetapi juga secara lingkungan, sekaligus mengurangi emisi karbon setara 12,15 ton CO2e per tahun.
Mereka telah mengubah takdir, dari desa yang rapuh menjadi Desa Tangguh yang mandiri.












