Jakarta, Ruangenergi.com – Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto, mengatakan, persoalan harga gas sebesar US$ 6 per mmbtu (million british thermal unit) yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merupakan dorongan dari semua pihak.
Akan tetapi dalam implementasinya muncul beragam spekulasi, untuk itu, Sugeng meminta agar hal ini dapat melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan.
Keinginan untuk melibatkan Kementerian lain juga masuk dalam hasil kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR dengan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM; Direktur Utama PT PGN Tbk; Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) dan PT Krakatau Daya Listrik;
Salah satu kesimpulan yaitu Komisi VII DPR akan mengagendakan RDP dengan Dirjen Migas Kementerian ESDM dengan mengundang Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan dan Dirjen Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian terkait pelaksanaan Peraturan Presiden No. 121 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 40 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Harga Gas Bumi Melalui Pipa.
“Pada dasarnya gas alam kita melimpang memang, beberapa skema bayangkan nanti di upstream (Tangguh, Train 3), apalagi kalau upstream di Masela, berapa sebesarnya gas alam kita ini,” katanya dalam RDP Komisi VII, (24/03).
Ia menambahkan, Indonesia juga sudah menyetop ekspor gas alam ke negara tetangga.
“Kita juga menyetop ekspor gas alam ke Singapura karena alasan DMO (Domestic Market Obligation), dengan latar belakang kalau tidak ada skema khusus maka akan terjadi krisis di beberapa industri salah satunya industri pupuk. Sebagaimana kita ketahui bahwa industri pupuk sangat ketergantungan akan pasokan gas untuk menunjang operasionalnya,” ungkap Sugeng.
Hanya saja memang, lanjut Sugeng, harga US$ 6 per mmbtu menjadi dilematis bagi banyak orang, pertama karena harga gas di masing-masing daerah juga berbeda, lalu karakter ekplorasi dan ekploitasinya juga berbeda. Gas dari offshore dengan gas dari onshore juga berbeda.
Lalu terkait adanya toll fee dalam penyaluran gas sudah pasti ada baik melalui pipa gas ataupun Floating Strorage Regasification Unit (FSRU). Terkait toll fee ini yang menetapkan adalah BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi).
“Pemerintah itu sudah mengorbankan pendapatan negara dari sisi hulu nya (wellhead itu harga dibagi untuk kepentingan negara dan operator) yang proporsinya 70%-30%. Jatah pemerintah yang 70% itulah yang dikurangi, dipotong transportasi lain-lain sehingga jatuhnya di wellplant atau pabrik sebesar US$ 6 per mmbtu. Yang menjadi kontroversi adalah, jika pendapatan negara berkurang diharapkan terjadi semacam multiplier effect di industri, sehingga pemerintah memberikan harga khusus untuk 7 industri atas harga gas sebesar US$ 6 per mmbtu,” imbuhnya.
Menurutnya dalam RDP terkait persoalan harga gas ini perlu melibatkan Kementerian Perindustrian.
“Apakah harga gas US$ 6 per mmbtu itu apakah efektif dan dapat memperbarui economic scale?. Apakah pendapatan negara yang berkurang ini akan berimplikasi positif yang real bagi pendapatan negara di sisi lain ada pajak dan sebagainya?,” tanya sugeng.
Ia mengakui, memang gas alam Indonesia cenderung mahal jika dibandingkan dengan negara lain. Apalagi penemuan terakhir ada shale gas Amerika Serikat (AS) yang harganya murah dipasar international.
“Dilema ini yang harus kita hadapi utamanya adalah PGN karena yang menyalurkan gas ke industri-industri. PGN kan disatu sisi BUMN dan di sisi lain public listing, utamanya ketika di tetapkan harga gas US$ 6 per mmbtu yang pertama terguncang adalah PGN, maka harga saham sempat anjlok, inilah lagi-lagi menjadi persoalan,” beber Sugeng.
“Menurut hemat saya, rapat kita tidak hanya berhenti disini, akan tetapi kita akan mengundang Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Keuangan serta Kementerian ESDM. Harga gas ideal di wellhead yang akan menjadi jatah pemerintah berapa, sehingga diperoleh hasil yang komperhensif holistik terkait kebijakan terhadap harga gas,” tandasnya.