Kurangi Disparitas Harga, Puskepi: Saatnya Harga Solar Subsidi Disesuaikan

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria mengatakan,  pemerintah sudah waktunya mengurangi beban subsidi pada bahan bakar minyak (BBM) jenis solar. Menurutnya, ini penting dilakukan untuk memperkecil disparitas harga antara solar subsidi dengan solar non subsidi yang saat ini masih terlalu besar.

Hal ini disampaikan Sofyano menanggapi keputusan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) yang kembali menugaskan PT Pertamina Patra Niaga (PPN) dan PT AKR Corporindo Tbk untuk menyalurkan 15,1 juta kiloliter minyak solar sepanjang 2022.

“Seharusnya sudah saatnya pemerintah mengurangi beban subsidi pada BBM jenis solar,” kata Sofyano dalam pesan tertulisnya yang diterima Ruangenergi.com di Jakarta, Minggu (08/1/2022).

Menurut dia, saat ini solar subsidi hanya dijual dengan harga Rp 5.150 per liter sementara harga solar non subsidi mencapai sekitar Rp 11.000 per liter. Sehingga ada disparitas harga atau sekitar Rp 5.850 per liter.

“Tentu saja ini angka yang relatif besar. Padahal penggunaan terbesar solar subsidi justru untuk “bisnis” dan penggunaannya juga nyaris tak terukur. Hal ini beda dengan penggunaan elpiji (subsidi) di mana untuk satu rumah tangga maksimal hanya menggunakan 3 tabung per bulan,” papar Sofyano.

Ia mengaku heran kenapa sampai saat ini pemerintah belum pernah terdengar akan mengkoreksi naiknya harga jual solar subsidi, apalagi berencana nelakukan pengalihan subsidi kepada pengguna yang tepat sasaran sebagaimana yang akan dilakukan terhadap elpiji bersubsidi.

“Mengapa pemerintah belum “‘mau” mengoreksi naik harga jual solar subsidi. Ada apa ini? Apakah subsidi pemerintah terhadap solar tidak menjadi beban buat pemerintah dibanding misalnya dengan subsidi terhadap elpiji 3kg,” tanya Sofyano.

“Atau apakah Pemerintah menilai pengguna solar subsidi selama ini sudah tepat sasaran sehingga subsidi solar menjadi tidak masalah buat pemerintah dan APBN,” cetusnya.

Menurut dia, solusi yang perlu diambil Pemerintah antara lain dengan mengoreksi naik harga jual solar subsidi, sehingga paling tidak rentang perbedaannya dengan solar non subsidi tidak sebesar seperti yang terjadi selama ini

“Pemerintah juga menetapkan penggunaan kepada jenis kendaraan tertentu yakni hanya untuk kendaraan bermotor pelat nomor polisi kuning dan maksimal roda enam saja,” ujarnya.

Seharusnya, lanjut Sofyano, Pemerintah bisa melakukannya jika merasa bahwa subsidi adalah beban terhadap APBN yang harus dikurangi.

“Tapi jika tidak merasa hal itu sebagai beban APBN maka logikanya subsidi terhadap elpiji juga tidak menjadi masalah bagi APBN, sehingga akan dinilai adil oleh rakyat,” pungkasnya.

Sebelumnya Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) kembali menugaskan PT Pertamina Patra Niaga (PPN) dan PT AKR Corporindo Tbk untuk menyalurkan 15,1 juta kiloliter minyak solar sepanjang 2022. Penetapan kuota yang tertuang dalam Keputusan Kepala BPH Migas Nomor 102/P3JBT/BPHMIGAS/KOM/2021 dan Nomor 103/P3JBT/BPHMIGAS/KOM/2021 tanggal 27 Desember 2021 dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat serta kemampuan keuangan negara.

Menurut Kepala BPH Migas, Erika Retnowati, penetapan kuota ini telah mempertimbangkan kebutuhan masyarakat serta kemampuan keuangan negara. Dan penetapannya didasarkan kepada tiga variabel dasar perhitungan, antara lain usulan kebutuhan solar tahun ini dari pemerintah daerah.

“Termasuk data realisasi penyaluran solar Pertamina Patra Niaga dan AKR Corporindo pada tahun lalu, dan rumusan formula yang sesuai dengan kesepakatan rapat bersama pemangku kepentingan,” ujarnya.

Selain kuota solar 15,1 juta kiloliter, lanjut Erika, pemerintah juga akan menyalurkan minyak tanah sebanyak 480.000 kiloliter pada tahun ini.

“Jika terjadi peningkatan kebutuhan atau gangguan distribusi di suatu daerah, maka Pertamina Patra Niaga dan AKR Corporindo dapat melakukan penyesuaian kuota antar-penyalur di daerah yang sama sepanjang tidak mempengaruhi jumlah total kuota daerah tersebut,” paparnya.

Lebih jauh ia mengatakan, dalam perubahan kuota suatu daerah, Pertamina wajib melaporkan kepada BPH Migas paling lambat satu bulan setelah perubahan agar penyaluran tepat sasaran, sehingga kuota Jenis BBM Tentu dikonsumsi oleh masyarakat yang berhak menerimanya.

“Hasil Sidang Komite juga memutuskan volume penyaluran minyak tanah dan solar yang melebihi kuota tidak akan diakui sebagai Jenis BBM Tentu dan dihitung sebagai Jenis BBM Umum,” ungkapnya.(SF)