Kurangi Ketergantungan LPG Impor, Percepat Transisi ke Gas Nasional

Jakarta, ruangenergi.com – Langkah Menteri ESDM Bahlil Lahadalia untuk mengevaluasi kembali skema subsidi LPG 3 kg patut didukung sebagai awal dari reformasi tata kelola energi nasional. Realitanya, subsidi LPG 3 kg saat ini lebih banyak menguntungkan kelompok yang tidak berhak. Lebih dari 60% konsumennya bukan masyarakat miskin, melainkan rumah tangga mampu, pelaku usaha, dan restoran.

Dampaknya bukan hanya pada kebocoran fiskal—yang mencapai Rp51,7 triliun per tahun—tetapi juga pada ketahanan energi nasional. Sebanyak 75% LPG yang beredar di Indonesia berasal dari impor, setara lebih dari 6,8 juta metrik ton pada 2023, naik tajam dibanding hanya 4 juta ton pada 2015. Ketergantungan ini membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global, geopolitik, dan pelemahan rupiah.

Solusi: Manfaatkan Gas Domestik untuk Transisi Energi Rumah Tangga dan Industri

Untuk menjawab masalah ini, diperlukan strategi struktural, bukan tambal sulam. Pemerintah perlu mempercepat konversi LPG ke gas bumi domestik, dengan langkah-langkah berikut:

1. Perluasan Jaringan Gas Rumah Tangga (Jargas)

Jargas mampu menekan biaya energi rumah tangga hingga 40%. Namun, baru sekitar 850 ribu sambungan rumah tangga yang terlayani. Dengan menggandeng swasta dan BUMD, cakupan jargas bisa ditingkatkan secara signifikan, terutama di kawasan padat dan wilayah penghasil gas.

2. Dorong Penggunaan CNG dan Mini LNG (Beyond Pipeline)

Teknologi CNG dan mini LNG menjadi solusi untuk wilayah yang belum tersambung jaringan. Negara seperti India berhasil menggunakan CNG secara masif untuk rumah tangga dan transportasi, mengurangi ketergantungan pada LPG.

3. Insentif Tata Niaga Gas dan Pelibatan Swasta

Saat ini, distribusi gas sangat bergantung pada satu entitas. Pemerintah perlu membuka peluang usaha distribusi gas (CNG, LNG retail) bagi pelaku swasta, disertai insentif fiskal, pembiayaan murah, serta deregulasi perizinan berbasis OSS RBA.

4. Penetapan Harga DMO LNG yang Proporsional

Salah satu hambatan besar transisi gas domestik adalah ketidakpastian harga. Saat ini, harga gas industri ditetapkan melalui skema Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), sementara sektor lainnya menghadapi harga komersial yang fluktuatif.

Pemerintah perlu menetapkan harga Domestic Market Obligation (DMO) untuk LNG dan CNG—sebagai jaminan pasokan dan stabilitas harga bagi rumah tangga, UMKM, serta industri prioritas. Skema harga gas yang proporsional antara HGBT dan non-HGBT akan menciptakan kepastian usaha, menarik investasi distribusi gas, dan memperluas akses energi murah dan bersih.

Momentum Reformasi

Subsidi LPG tidak bisa dipertahankan selamanya. Tanpa reformasi, kita akan terus membakar anggaran, membiayai ketergantungan impor, dan merusak efisiensi pasar energi. Reformasi energi harus berpihak pada masyarakat luas—bukan kelompok besar yang mengambil keuntungan dari subsidi.

Dengan sumber daya gas bumi yang besar, Indonesia memiliki semua yang dibutuhkan untuk membangun kemandirian energi. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk beralih dari pola lama ke sistem yang adil, efisien, dan berkelanjutan.

 

Oleh: Dr. Anggawira, MM, MH
(Sekjen HIPMI, Ketua Umum ASPEBINDO)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *