Kurtubi Sebut UU Migas Jadi Pangkal Masalah

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.cim – Praktisi Migas, DR. Kurtubi mengatakan, sumber dari permasalahan minyak dan gas (Migas) di Indonesia saat ini adalah UU Migas Nomor 22 Tahun 2001, karena memberikan kuasa pertambangan kepada negara. Dan membuat pengelolaan migas dilakukan secara B to G (Business to Government).

“Padahal pemerintah tidak boleh ikut campur dalam berkontrak bisnis migas, karena kedaulatan negara jadi tergadiakan (lewat BP Migas), sistem yang jelek ini dipakai dipertambangan. B to G tidak boleh dipakai lagi. Pemerintah manapun tidak ada yang berbisnis, tidak eligibel, tidak memenuhi syarat,” kata DR Kurtubi dalam diskusi virtual, yang digelar Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Sabtu (31/7/2021).

Padahal, kata dia, dengan UU Nomor 8 Tahun 1971, dimana kuasa pertambangan ada di tangan Pertamina, skema bisnis dilakukan secara B to B (Business to Business).

“Dengan kuasa pertambangan, Pertamina bisa kuasa mengundang investor dari manapun, investor dipermudah karena negara tidak mau keluarkan uang untuk investasi yang penuh risiko. Maka UU itu dipermudah izinnya. Ini menjadi kan pengelolaan jadi simpel terkenal di dunia,” papar Kurtubi.

Lebih jauh ia mengatakan, bahwa pemerintah seharusnya kembali ke UU tahun 1971 agar kedaulatan energi bisa tercapai. Pasalnya, ketika kuasa pertambangan di tangan negara, padahal negara tidak menambang sendiri, tidak menjual sendiri, maka hal itulah yang membuat kinerja migas menurun.

“Ini penyebab utama industri migas di tanah air jadi hancur, produksi minyak anjlok dari 1,5 juta barel sekarang di bawah 700 barel per hari, dulu terkenal eksportir di asia timur,” ungkapnya.

Sementara Anggota Komisi VI DPR Herman Khaeron menjelaskan, rencana untuk restrukturisasi Pertamina sudah dibahas di DPR.

“Yang menjadi permasalahan besar dalam pembahasan itu adalah ketika ada rencana untuk melakukan IPO. Saya termasuk yang mengkritisi rencana itu,” ungkapnya.

Herman juga mengakui IPO adalah dilema besar bagi direksi untuk tidak menjalankan kebijakan pemerintah.

“Dalam beberapa hal yang pernah disampaikan kepada kami, ini memberikan keyakinan, yaitu pembentukan sub holding ini lebih memberikan prospektif bagi korporasi maupun bagi masyarakat, baik melalui dividen, pajak, revenue maupun melalui retribusi lainnya,” paparnya.

“Kedua adalah ingin memperkuat daya saing dan ketiga adalah percepatan untuk melakukan akselerasi,” tambah dia.

Menurutnya, Pertamina ditugaskan Pemerintah untuk menggenjot di hulu, harus membangun kilang, termasuk juga bagaimana biodiesel bisa dibuat seutuhnya di Pertamina, serta mengacu pada bauran energi yang utamanya di Geothermal dan membangun EV bateray yang merupakan energi masa depan, termasuk juga BUMN satu harga dan lain-lain.

Ia mengungkapkan, bahwa hingga saat ini yang disampaikan oleh Pertamina bahwa IPO hanya akan dilaksanakan untuk Geothermal.

“Karena memang Geothermal butuh kapital yang lebih besar. Karena dengan banyak penugasan, termasuk BBM satu harga dan lainnya, ini berat. Kecuali ada dukungan lainnya. Ini yang secara rasional bisa menangkap bahwa ada keinginan Pertamina untuk mengakselerasi,” paparnya.

Pertamina, lanjut dia, masih tetap merupakan BUMN murni, masih 100 persen milik merah putih. IPO hanya akan dilakukan terhadap geothermal karena resiko di geothermal ini sangat besar, jadi resikonya perlu ditanggung renteng secara bersama.

“Jadi tidak ada aset yang nantinya jadi milik asing. Ini sebuah pilihan. Kami akan mendalami.” pungkasnya.(Red)