Jakarta, Ruangenergi.com – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan bahwa jika harga nikel terlalu tinggi akan sangat berbahaya bagi perekonomian. Pasalnya, hal itu akan membuat industri baterai listrik akan mencari alternatif lain.
“Menurut saya, harga nikel terlalu tinggi itu sangat berbahaya, kita belajar dari kasus cobalt tiga tahun lalu yang harganya begitu tinggi, akhirnya orang <span;>mencari bentuk baterai lain. Ini juga salah satu pemicu lahirnya lithium ferro phosphate (LFP) itu,” kata Luhut dikutip di Jakarta, Kamis (25/1).
Diketahui, Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Namun menurut Luhut, jika harganya terlalu tinggi maka industri baterai listrik juga akan mencari alternatif lain.
“Jadi kalau kita juga bikin harga ketinggian, orang akan cari alternatif lain, teknologi berkembang sangat cepat,” kata Luhut.
Lebih jauh ia mengatakan, bahwa lithium battery berbasis nikel itu bisa didaur ulang. Namun, LFP sampai saat belum bisa didaur ulang.
“Tetapi ingat lithium battery itu bisa recycling, sedangkan tadi yang LFP itu tidak bisa recycling sampai hari ini tetapi sekali lagi teknologi itu terus berkembang. Kita bersyukur LFP juga kita kembangkan dengan China, tadi lithium battery juga kita kembangkan dengan China maupun dengan lain-lain,” papar Luhut.
Pada kesempatan itu, ia juga merespons kritikan perihal harga nikel anjlok. Luhut mengatakan bahwa seharusnya dapat dilihat tren harga nikel dalam 10 tahun terakhir.
“Kan siklus daripada komoditi itu kan naik turun apakah itu batu bara, nikel, timah atau emas apa saja tetapi kalau kita melihat selama 10 tahun terakhir ini harga nikel dunia itu di 15.000-an dolar AS bahkan pada periode 2014-2019 periode hilirisasi mulai kita lakukan harga rata-rata nikel itu hanya 12.000 dolar AS,” ungkapnya.
Luhut kembali menekankan bahwa program hilirisasi yang dilakukan bermanfaat bagi perekonomian Indonesia.
“Pernah kita inflasi di bawah 3 persen? kan baru sekarang. Pernah 44 bulan kita surplus ekspor? kan baru sekarang, apa itu? Ya hilirisasi. Kita bisa maintain growth masih 5 persen di tengah-tengah keadaan ekonomi dunia begini dan kita masih berupaya di atas 5 persen, mungkin 6 persen di tahun depan,” pungkasnya.(Red)