Jakarta,Ruangenergi.com-Manajemen Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) diminta untuk memperjuangkan nasib keberadaan dari satuan kerja tersebut paska dicabutnya pembahasan Undang-Undang Migas di dalam Omnibus Law Cipta Kerja.
Para pekerja di lingkup SKK Migas meminta agar Pimpinan SKK Migas segera beraksi untuk meneruskan perjuangan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Migas Nomer 22 tahun 2001.
“Kami meminta Pimpinan SKK Migas segera berjuang,mengawal pembahasan revisi UU Migas dengan ketat. Kalau minerba saja sudah berhasil menjaga dan mengawal pembahasan amandemen UU Minerba dan listrik dengan amandemen UU Ketenagalistrikan di dalam Omnibus Law Cipta Kerja kemarin, maka kami berharap Manajemen SKK Migas juga berjuang untuk UU Migas,” kata para pekerja kepada ruangenergi.com, Selasa (10/11/2020).
Mereka meminta agar Pimpinan SKK Migas menunjuk seseorang yang dinilai mumpuni untuk bisa mengawal pembahasan UU Migas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) khususnya di Komisi VII. Sosok tersebut bisa menjadi jembatan antara stake holder minyak dan gas (migas) dengan legislative.
“Kami butuh pengawalan agar masa depan SKK Migas menjadi jelas. Kepastian hukum menjadi hal penting bagi kami agar bisa bekerja lebih produktif sehingga program 1 juta barrel di tahun 2030 dapat tercapai_ di SKK Migas,:”ucap para pekerja di lingkup SKK Migas tersebut.
Dalam catatan ruangenergi.com,Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja alias Omnibus Law, telah diteken oleh Presiden dan telah resmi untuk diundangkan.
Menurut, Wakil Ketua Komisi VI DPR-RI periode 2017-2019, Inas Nasrullah Zubir, UU Cipta Kerja yang sudah ditandatangani oleh Presiden Jokowi kemudian dipersoalkan. Di mana salah satunya adalah paragraf 5, pasal 40 UU Cipta Kerja yang memuat tentang perubahan UU No. 22/2001, pasal 1, ayat 3 yang berbunyi:
“Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi” katanya saat dihubungi Ruangenergi.com, (04/11).
“Lalu apa yang dipersoalkan dari klausal tersebut? Padahal frasa (Minyak dan Gas Bumi) adalah teknik penulisan dalam penyusunan rancangan undang-undang untuk mendefinisikan frasa (Minyak Bumi dan Gas Bumi) agar lebih singkat menjadi (Minyak dan Gas Bumi), yang banyak digunakan dalam RUU Cipta Kerja klaster ESDM maupun UU Migas No. 22 tahun 2001,” sambungnya.
Ia menjelaskan, Gas bumi dalam ketentuan pasal 1, ayat 2 sudah di definisikan, sedangkan minyak tidak ada definisinya di ketentuan, akibatnya akan bias, karena minyak saja dapat diartikan minyak bumi, minyak solar, minyak tanah dan lain-lain.
“Oleh karena itu, frasa (Minyak dan Gas Bumi) harus didefinisikan didalam kententuan, agar tidak biasa dan tetap diartikan sebagai minyak bumi dan gas bumi,” jelas Inas.