Mencermati Dampak Kebijakan Kendaraan Listrik di AS

Jakarta,Ruang Energi.com– Amerika Serikat (AS) baru saja menjalani transisi pemerintahan dari Presiden Donald Trump dari partai Republik kepada Joseph (Joe) Biden yang didukung partai Demokrat. Saat kampanye pencalonan presiden, Joe Biden memiliki perhatian khusus terhadap pengembangan renewable energy, seperti halnya electric vihicle/EV( kendaraan listrik).

Jika menjadi presiden AS, Biden akan mendorong peralihan transportasi pribadi dari kendaraan berbahan bakar BBM ke EV. Untuk mewujudkan rencana itu, Biden akan membangun 500 ribu pengisi daya EV dan meningkatkan investasi di baterei listrik dan teknologi pendukungnya hingga USD 5 miliar dalam lima tahun ke depan. Bahkan Biden juga akan mendorong investasi besar untuk membiayai R & D dan pengembangan EV ini.

Sebagai negara konsumen minyak dan gas (migas) terbesar di dunia dan juga salah satu produsen migas terbesar, rencana Biden tentunya patut dicermati. Akankah kebijakan Amerika di sektor energi akan mengubah peta konsumsi migas, mengingat saat migas ini masih menjadi sumber energi utama di sana?

Jika menyimak proyeksi OPEC, sampai tahun 2040 nanti kehadiran EV akan mengkonversi penggunaan BBM sekitar 6 juta barel per hari di seluruh dunia. AS akan menjadi negara yang paling banyak mengganti (replacement) energi BBM ke listrik tersebut, mengingat populasi EV diprediksi menjadi yang terbesar di dunia.

Pada tahun 2030, kehadiran EV di AS akan memangkas konsumsi minyak sekitar 500 ribu barel per hari. Angka tersebut meningkat hingga mendekati 2 juta barel per hari di 2040.

Namun yang patut dicermati, kebijakan Biden untuk memperkuat renewable energy di Amerika sejauh ini berbeda dengan fokus dan strategi perusahaan-perusahaan energi besar di AS seperti Exxon, Chevron maupun ConocoPhillips

Tiga besar perusahaan energi fosil di Amerika berpartisipasi dalam menurunkan kandungan emisi carbon dengan cara mengurangi dampaknya terhadap lingkungan bukan mengganti sumber energinya dengan renewable. Perusahaan tersebut memanfaatkan CO2 untuk memproduksi energi fosil (CO2 injection misalnya) atau menyimpannya ke dalam bumi melalui program yang dinamakan Carbon Capture Utilization & Storage (CCUS).

Sejak tahun 2018 Chevron telah mengalokasikan investasi sebesar $ 100 juta bagi pengembangan teknologi untuk mengurangi emisi gas buang. Chevron juga sudah berinvestasi hingga $ 1,1 miliar dalam program CCUS. Dengan strategi ini Chevron menargetkan terjadi pengurangan emisi gas methana 20-25% di tahun 2023.

Langkah yang sama juga dilakukan Exxon. Perusahaan ini sejak tahun 2000 sudah melakukan investasi hingga $ 10 miliar untuk mengembangkan tehnologi rendah emisi carbon. Tahun lalu, Exxon juga menambahkan investasinya $ 100 juta untuk menekan emisi gas buang. Targetnya tahun ini terjadi pengurangan emisi gas methane hingga 15%.

Strategi perusahaan energi di AS memang berbeda dengan beberapa perusahaan energi di Eropa. Jika di AS mereka tetap fokus dengan sumber energinya yaitu fosil dan mengembangkan teknologi untuk mengurangi emisi carbon, di Eropa justru banyak yang mulai mengalihkan sumber energinya ke renewable energy.

Contohnya Shell yang fokus mengembangkan bisnisnya ke energi rendah karbon seperti angin, matahari, gas alam, bio fuels dan hydrocarbon. Begitu juga dengan British Petroleum (BP) yang mengalihkan fokus bisnis energinya ke angin, matahari, bio fuels dan charging point untuk EV.

Strategi siapa yang akan memberi dampak terbaik? Setiap perusahaan tentu memiliki strategi yang sudah diperhitungkan secara matang. Amerika dan Eropa juga memiliki karakter pasar/konsumen yang berbeda. Namun khusus di AS, mengacu data pada tahun 2019 konsumsi BBM lebih dari 20 juta barel per hari, EV hanya akan mengurangi konsumsi BBM sekitar 2 juta barel per day di tahun 2040. Mari kita tunggu. (Arcandra Tahar, mantan Wamen ESDM)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *