Jakarta, Ruangenergi.com – Saat ini banyak pembuat kebijakan di berbagai negara menghadapi situasi yang cukup rumit. Pasalnya, mereka semakin dituntut untuk mampu menciptakan kesimbangan antara target pertumbuhan ekonomi dan mencegah kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekonomi.
Hal tersebut sebagaimana dikutip dari laman FB milik Arcandra Tahar, (18/09).
Dalam unggahannya, Arcandra mengungkapkan bahwa sektor energi memegang peranan sangat penting dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi.
“Apabila biaya energi yang digunakan untuk memproduksi suatu barang mahal, maka dapat dipastikan barang tersebut tidak akan mampu bersaing dengan barang sejenis yang diproduksi di luar negeri dengan biaya energi yang lebih murah. Dengan kata lain ekspor akan turun dan pertumbuhan ekonomi akan melambat,” tulis Arcandra.
Ia menambahkan, disisi lain penggunaan sumber energi murah, batubara misalnya, selalu dikaitkan dengan isu lingkungan yang diakibatkan oleh polusi yang dihasilkan dalam mengubah batubara menjadi listrik. Polutan yang dihasilkan seperti CO2, SO2, NOx dan particulates sangat signifikan berkontribusi dalam menaikan suhu bumi dan merubah iklim.
Selain Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), tuturnya, batubara juga digunakan di industri steel mills (pabrik baja) dan pabrik semen.
Alasan penggunaan batubara dalam pabrik baja dan pabrik semen juga untuk mendapatkan sumber energi yang murah dan juga sebagai bahan baku (feedstock). Dapat dibayangkan betapa industri disekitar kita sangat bergantung kepada batubara.
“Dari data yang kami peroleh, 40% emisi global berasal dari penggunaan batubara. Pada tahun 2020, PLTU menyumbang 39% dari semua energi listrik yang dibangkitkan di dunia. Penggunaan PLTU di Asia malah jauh lebih tinggi, sekitar 72% dan untuk Indonesia sekitar 50%. Bagaimana dengan industri baja? Sebanyak 72% juga menggunakan batubara,” kata Arcandra.
Mencermati penggunaan batubara yang begitu masif untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, Ia menjelaskan, apakah ada pilihan bagi pembuat kebijakan dalam mengurangi polusi yang dihasilkan?. Tidak mudah untuk menjawabnya. Namun demikian, ada beberapa pilihan sulit yang mungkin bisa ditempuh.
Pertama, melakukan pensiun dini PLTU yang sudah dibangun dan tidak ada lagi izin untuk membangun PLTU yang baru.
“Pembangkit listrik yang akan dibangun hanya yang berbasis pada energi terbarukan. Kelihatannya pilihan ini sangat sederhana tapi mari kita lihat apa dampaknya bagi industri dan masyarakat,” paparnya.
Menurutnya, kebanyakan PLTU yang sedang beroperasi belum sampai pada tingkat pengembalian modal yang direncanakan.
“Pensiun dini berarti kerugian bagi investor. Untuk itu jalan yang mungkin ditempuh adalah pensiun setelah balik modal,” imbuhnya.
Dengan 39% sumber energi listrik berasal batubara, apakah mungkin semuanya bisa tergantikan oleh energi terbarukan? Menurutnya, ada banyak tantangan.
Dari sisi teknikal seperti perlunya smart grid, ketersedian energi yang terus menerus (khusus untuk PLTS dan PLTB), perlunya baterai sebagai backup. Dari aspek komersial tantangannya adalah harga yang lebih tinggi dan lahan yang belum tentu tersedia (untuk PLTS).
“Dengan penggunaan energi terbarukan, diperkirakan tarif listrik akan naik yang secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pertanyaan selanjutnya sudah siapkah warga masyarakat dunia dan pelaku usaha untuk membayar tarif listrik yang lebih tinggi? Bagaimana dengan industri baja dan semen. Apakah ada alternatif selain batubara yang bisa mereka gunakan?,” terangnya.
“Pilihan apa lagi yang mungkin bisa dilakukan selain pensiun dini untuk tetap menggunakan batubara namun tidak merusak lingkungan? Apakah ada teknologi yang bisa membantu harapan ini?,” tutupnya.