Migas Itu ‘High Risk, High Return’! Anak K3 UNAIR Bedah Strategi Efisiensi dan Peran AI di Industri Energi

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Surabaya, Jawa Timur, ruangenergi.com– Dunia industri minyak dan gas (Migas) bukan sekadar ladang cuan, tetapi juga arena dengan risiko tinggi. Untuk menaklukkan tantangan ini, mahasiswa Himpunan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Fakultas Vokasi Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar Seminar Nasional K3 pada Sabtu (27/9/2025) lalu.

Acara yang bertajuk “Optimalisasi Peran Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Pengolahan Migas…” ini bertujuan membekali mahasiswa dengan wawasan praktis sebelum terjun ke lapangan.

“Besar harapan kami dapat memahami pentingnya pengolahan Migas sebelum terjun langsung ke lapangan,” ujar Kisa Audrey Putri Wardhana, Ketua Pelaksana seminar,dikutip dari website Unair.

Dalam sesi utamanya, Ahmad Muslih Bambang Sugiharta, Supervisor Process Safety & EP&R dari EMCL, memaparkan kunci sukses industri energi. Menurut Muslih, industri Migas adalah kategori High Risk, High Return.

Ia menegaskan, K3 bukan sekadar kepatuhan, tetapi merupakan Katalis Efisiensi Produksi Migas Nasional. Prinsipnya sederhana: dengan meminimalkan downtime (waktu henti operasi) karena kecelakaan, produktivitas secara otomatis akan meningkat.

Berdasarkan pengalaman 17 tahunnya di sektor Migas, Muslih menekankan satu hal fundamental: setiap individu harus menjadi safety leader. “Ketika di lapangan, semua bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan diri sendiri,” ujarnya.

Meskipun Migas masih menyumbang lebih dari 70% kebutuhan energi global dan lapangan kerja masih terbuka lebar, industri ini menghadapi tantangan klasik: keterbatasan tenaga kerja ahli dan kompleksitas teknologi, terutama dalam penanganan gas.

Teknologi Baru: Dari Carbon Capture hingga Kecerdasan Buatan (AI)

Perjalanan industri menuju target net zero emission turut menjadi sorotan. Muslih memperkenalkan solusi inovatif seperti konsep Carbon Capture and Storage (CCS), yaitu teknologi penyerapan emisi karbon untuk kemudian diinjeksikan kembali ke perut bumi.

Ia lantas menggarisbawahi bahwa di industri berisiko tinggi ini, teknologi dan strategi K3 harus berjalan beriringan dengan target efisiensi dan keberlanjutan.

Lebih jauh, Muslih menyoroti peran teknologi canggih. Menurutnya, pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) sangat krusial dalam mendukung produktivitas dan keselamatan kerja. “Siapapun yang tidak bersahabat dengan AI, dia akan tertinggal,” cetusnya.

Muslih memberikan contoh langsung penggunaan AI di lapangan, seperti Earthquake Impact Calculator dan New Scenario Management Dashboard, yang membantu monitoring dan pengambilan keputusan cepat.

Terakhir, Muslih mengingatkan para mahasiswa K3 bahwa keterampilan teknis saja tidak cukup. Di lapangan, soft skill seperti komunikasi dan adaptasi sangat penting. “Adakalanya kita harus punya seni untuk menegur. Karena bekerja di lapangan bukan hanya soal teknis, tetapi juga komunikasi dan adaptasi,” pungkasnya.