Jakarta Pusat, Jakarta, ruangenergi.com-Ketika kita mendengar nama Pertamina, sebagian besar masyarakat langsung membayangkan stasiun pengisian bahan bakar, kilang minyak, atau logo merah-hijau yang terpampang di berbagai sudut kota dan desa.
Tetapi sesungguhnya, Pertamina bukan sekadar perusahaan. Ia adalah simbol dari bagaimana negara mengelola salah satu sumber daya paling vital, yaitu minyak dan gas bumi, untuk memastikan kehidupan sehari-hari rakyat tetap berjalan.
Dari bahan bakar yang kita gunakan untuk bekerja, gas elpiji yang dipakai ibu-ibu memasak di dapur, sampai program energi bersih yang tengah digarap, semua itu ada campur tangan Pertamina. Inilah yang membedakan Pertamina dengan perusahaan migas swasta lain: ia tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga memikul tanggung jawab konstitusional untuk menghadirkan energi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Belakangan, publik mendengar kabar bahwa Pertamina berencana menggabungkan beberapa anak usahanya, terutama di sektor hilir, ke dalam struktur yang lebih ramping dan efisien. Langkah ini menimbulkan berbagai pandangan. Ada yang melihatnya sebagai strategi bisnis murni, ada pula yang khawatir akan mengurangi komitmen lingkungan.
Namun, jika kita tarik ke akar persoalan, restrukturisasi ini justru bisa dibaca sebagai upaya memperkuat peran Pertamina sebagai perusahaan migas nasional yang tangguh, efisien, dan tetap berlandaskan pada amanat konstitusi.
Mengapa begitu? Karena sejak awal, Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 telah menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pertamina adalah perpanjangan tangan dari mandat itu. Ia bukan perusahaan asing yang berorientasi hanya pada profit, tetapi alat negara untuk memastikan energi hadir di pelosok negeri dengan harga yang bisa dijangkau masyarakat.
Maka, ketika Pertamina berbenah melalui restrukturisasi anak usaha, kita perlu melihatnya bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai upaya memperkuat kedaulatan energi di era yang makin kompleks.
Efisiensi untuk Kedaulatan Energi
Mari kita jujur, dunia migas saat ini bukan dunia yang sederhana. Persaingan global sangat ketat, harga minyak dunia naik turun dipengaruhi geopolitik, dan teknologi energi baru berkembang pesat. Dalam situasi seperti itu, perusahaan migas nasional yang lamban, penuh birokrasi, dan tidak efisien bisa saja tergilas.
Karena itu, langkah Pertamina merampingkan struktur anak usaha patut dipandang sebagai strategi menyelamatkan diri sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam percaturan energi global.
Bayangkan jika satu fungsi yang sama dikerjakan oleh dua anak usaha berbeda, tentu akan terjadi pemborosan biaya, tumpang tindih kewenangan, dan keputusan yang lambat. Restrukturisasi membuat proses lebih sederhana, biaya berkurang, dan koordinasi lebih cepat.
Pada akhirnya, efisiensi ini bukan hanya soal keuntungan Pertamina, tetapi juga berdampak langsung pada rakyat. Misalnya, harga bahan bakar bisa ditekan agar tidak melonjak, distribusi energi ke daerah terpencil bisa lebih lancar, dan subsidi energi dari pemerintah bisa lebih tepat sasaran.
Di sisi lain, kita juga perlu mengingat bahwa kebijakan holding dan sub-holding BUMN memang diarahkan untuk menciptakan perusahaan negara yang tangguh di tingkat regional bahkan global. Dalam konteks migas, Pertamina diharapkan mampu bersaing dengan raksasa-raksasa dunia seperti ExxonMobil, Saudi Aramco, atau Petronas.
Bagaimana bisa bersaing kalau struktur internalnya masih rumit dan inefisien?
Di sinilah restrukturisasi menjadi penting. Ia adalah cara untuk menyehatkan tubuh Pertamina agar bisa berlari lebih cepat, merespons perubahan pasar dengan lincah, dan pada akhirnya melayani kepentingan nasional dengan lebih baik.
Perlu diingat, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya terkait uji materi uu 22/2001 tentang migas menegaskan bahwa negara tidak boleh menyerahkan penguasaan sektor strategis kepada pihak lain tanpa kendali. Maka, penguatan Pertamina lewat restrukturisasi justru sejalan dengan putusan tersebut, bahwa negara tetap hadir, tetapi melalui instrumen perusahaan yang lebih kuat dan efisien.
Tentu ada kekhawatiran bahwa efisiensi ini akan memangkas komitmen lingkungan. Misalnya, jika perusahaan terlalu fokus pada cost-cutting, bisa saja program dekarbonisasi atau investasi energi bersih terabaikan. Namun, justru karena Pertamina adalah BUMN, ia terikat pada kewajiban publik yang tidak dimiliki perusahaan swasta murni.
Restrukturisasi harus dibaca sebagai langkah memperkuat fondasi finansial dan manajerial Pertamina agar mampu menanggung investasi besar pada energi hijau. Tanpa efisiensi, sulit membayangkan Pertamina bisa menanamkan dana ratusan triliun rupiah untuk transisi energi, mulai dari biofuel, geothermal, hingga hidrogen hijau.
Kita juga harus melihat pengalaman negara lain. Petronas, misalnya, menjadi salah satu perusahaan migas paling berpengaruh di Asia karena sukses melakukan konsolidasi internal sejak awal, sehingga bisa berinvestasi agresif di luar negeri.
Demikian pula Saudi Aramco, yang mengintegrasikan hulu dan hilirnya dengan sangat efisien. Jika Indonesia ingin Pertamina setara dengan mereka, maka restrukturisasi adalah keniscayaan, bukan pilihan.
Lingkungan dan Amanat Konstitusi
Sekarang mari kita masuk ke isu yang sering menjadi sorotan publik: apakah restrukturisasi anak usaha akan mengurangi komitmen lingkungan? Pertanyaan ini wajar muncul, karena sejarah industri migas memang erat dengan masalah pencemaran, emisi karbon, dan konflik sosial.
Namun, kita perlu menegaskan sejak awal bahwa Pertamina berbeda dari perusahaan swasta murni. Sebagai BUMN, ia terikat pada amanat konstitusi, putusan Mahkamah Konstitusi, serta kewajiban menjaga kepentingan publik.
Putusan MK terkait migas menekankan bahwa “hak menguasai negara” tidak hanya berarti kepemilikan formal, tetapi juga kewajiban negara untuk mengatur, mengelola, dan mengawasi agar kekayaan alam dipakai sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Pertamina adalah perpanjangan tangan negara untuk menjalankan fungsi itu. Maka, restrukturisasi yang dilakukan bukan berarti negara lepas tangan, justru negara sedang memperkuat instrumennya. Selama pemerintah, DPR, dan lembaga pengawas tetap menjalankan perannya dengan baik, komitmen lingkungan tidak akan dikorbankan.
Bahkan, restrukturisasi bisa menjadi momentum memperkuat agenda hijau. Dengan struktur yang lebih ramping, Pertamina bisa lebih mudah menetapkan target keberlanjutan yang jelas, mengintegrasikan standar lingkungan di semua lini usaha, dan mempercepat investasi ke energi terbarukan.
Kita sudah melihat langkah nyata seperti peluncuran biofuel, pembangunan proyek geothermal di Ulubelu, serta rencana hidrogen hijau. Semua ini membutuhkan perusahaan yang sehat, efisien, dan berani mengambil risiko.
Tentu, masyarakat tetap harus kritis. Publik berhak menuntut agar hasil restrukturisasi tidak hanya ditunjukkan lewat laporan keuangan yang lebih baik, tetapi juga lewat laporan keberlanjutan yang transparan. Audit independen terkait lingkungan harus dilakukan secara rutin, dan keterbukaan informasi publik wajib dijaga.
Dengan begitu, Pertamina tidak hanya dilihat sebagai perusahaan migas nasional yang kuat, tetapi juga sebagai pionir energi bersih yang bertanggung jawab.
Kalau kita tarik garis besar, restrukturisasi ini sesungguhnya adalah bagian dari perjalanan panjang Pertamina untuk menemukan keseimbangan antara tiga hal: efisiensi bisnis, kedaulatan energi nasional, dan komitmen lingkungan.
Tanpa efisiensi, Pertamina tidak akan mampu bertahan di pasar global. Tanpa kedaulatan energi, rakyat akan rentan terhadap krisis dan fluktuasi harga dunia. Tanpa komitmen lingkungan, masa depan generasi mendatang akan terancam. Pertamina harus memikul ketiganya sekaligus, dan di situlah letak keistimewaannya dibanding perusahaan lain.
Restrukturisasi anak usaha Pertamina bukanlah sekadar wacana manajemen perusahaan. Ia adalah cermin bagaimana negara berupaya menata diri di tengah tantangan energi dunia yang semakin kompleks.
Tentu, ada kritik, ada kekhawatiran, bahkan ada kecurigaan. Tetapi kita perlu melihatnya dengan kaca mata yang lebih luas. Pertamina adalah milik kita semua, dan setiap langkah perubahannya bertujuan memperkuat kedaulatan energi Indonesia.
Dengan struktur yang lebih efisien, Pertamina bisa lebih tangguh menghadapi fluktuasi harga minyak global. Dengan dukungan regulasi dan pengawasan negara, Pertamina tetap menjaga komitmen lingkungan dan keberlanjutan.
Dengan semangat konstitusi, Pertamina terus menjadi garda terdepan dalam mewujudkan energi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sebagai bangsa, kita tentu boleh kritis, tetapi jangan sampai kehilangan kepercayaan. Karena pada akhirnya, menguatkan Pertamina berarti menguatkan Indonesia.
Penulis :
Rifqi Nuril Huda, S.H., M.H., CLA.
Alumni Magsister Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia, DIrektur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS)