Jakarta, Ruangenergi.com – Komisi VII DPR RI, meminta Pemerintah ikut terlibat dalam pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia.
Dalam Kunjungan Kerja Reses Komisi VII ke PLTP Gunung Salak PT Indonesia Power, di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, mengungkapkan bahwa tingginya biaya eksplorasi di hulu, yakni menemukan uap panas, menghabiskan biaya sangat mahal dan berisiko.
Bahkan, menurutnya ketika pengembang melakukan eksplorasi, ada yang memperoleh titik sumber panas bumi, namun juga ada yang tidak mendapatkan titik uap panasnya.
“Nah ketika banyak yang nggak dapet (hasil eksplorasi sumber panas bumi), kan akhirnya dikompensasi ke harga akhir BPP (Biaya Pokok Penyediaan) listrik ya,” jelasnya.
Dikatakan olehnya, problem dari Energi Baru Terbarukan (EBT), khususnya produk PLTP adalah harga jualnya yang masih tinggi. Ia mencontohkan, harga jual dari PLTP Gunung Salak diketahui masih di atas Rp1.000/kwh atau setara kurang lebih 8 sen dolar AS per kwh. Sedangkan pada PLTA dan PLTS sekitar 4-5 sen dolar AS per kwh.
Maka dari itu, dia menilai apabila pemerintah turut andil pada proses eksplorasi tersebut, diharapkan dapat mereduksi biaya pembangunan PLTP yang disebabkan risiko yang tinggi untuk memperoleh sumber panas bumi tersebut. Dengan begitu, PLTP dapat dapat bersaing dengan sumber-sumber energi lainnya seperti PLTA atau PLTS.
Terkait bauran EBT, imbuhnya, kontribusi EBT nasional pada 2020 masih berada dalam kisaran 11%. Sementara targetnya sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2030.
“Iya, ini kan masih jauh ya. Target EBT kita kan sesuai Rencana Umum Energi Nasional yang diterbitkan pemerintah melalui DEN itu kan 25% ya di tahun 2025. Nah sekarang kan baru 10 koma (persen). Jadi, setengahnya lah ya,” paparnya.
Menurutnya, perkembangan EBT di Indonesia dinilai masih jauh, sehingga harus diperbaiki oleh pemerintah melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) secara bertahap. Ia pun setuju apabila pemerintah memiliki rencana untuk membentuk badan usaha dengan menyatukan badan-badan usaha yang sudah ada seperti Geo Dipa Energi, Pertamina Geothermal Energy dan Indonesia Power.
Lebih jauh, ia menjelaskan, dengan badan usaha yang cukup besar, diharapkan dapat mengatasi modal di awal dalam pengembangan PLTP yang cukup tinggi.
“Nah ini saya setuju, karena kita akan memperkuat ya, memperkuat eksplorasinya termasuk pembangunan infrastruktur. Nah kalau hal itu terjadi, mudah-mudahan bisa mereduksi BPP,” tutupnya.