Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menilai, pajak karbon nantinya akan dibebani kepada perusahaan produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP).
Dengan demikian, Mamit berpendapat bahwa PT PLN (Persero) tidak akan sanggup menahan beban dari IPP.
Hal tersebut dikatakan olehnya paska draf Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disahkan menjadi undang-undang, dan dipastikan keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) akan dikenakan pajak karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
“Dengan dibebankan adanya pajak karbon kepada IPP-IPP, dengan begitu biaya pokok produksinya akan naik,” ungkap Mamit kepada Ruangenergi, (11/10).
Dia menjelaskan, jika biaya produksi IPP naik, otomatis para IPP akan membebani juga kepada pihak pembeli listrik yakni PT PLN. Selanjutnya biaya yang harus dikeluarkan PLN juga akan lebih besar.
“Jika PLN sudah tak sanggup, maka kemungkinannya ada dua, meminta bantuan pemerintah melalui subsidi atau membebaninya ke masyarakat dengan menaikan tarif dasar listrik. Pilihannya dua nanti, yang pertama kalau pemerintah mau mensubsidi berarti ada penambahan subsidi akibat dari pada pajak karbon ini. Yang kedua kalau memang akhirnya benar-benar memberatkan kemungkinan akan ada kenaikan tarif dasar listrik,” imbuhnya.
Menurut Mamit, kenaikan tarif dasar listrik kemungkinan besar yang akan terjadi nantinya. Pasalnya, sejak 2017 juga belum ada kenaikan tarif dasar listrik yang dilakukan.
Sebelumnya, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengungkapkan bahwa pihaknya tidak setuju dengan kebijakan carbon pricing.
Direktur Eksekutif METI, Paul Butarbutar, mengatakan penerapan kebijakan carbon pricing justru akan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.
“Secara prinsip METI melihat bahwa implementasi dari instrumen carbon pricing, salah satunya perdagangan karbon, merupakan salah satu upaya untuk menjadikan level playing field pada penyediaan energi,” jelas Paul.
Ia menuturkan, dengan adanya kebijakan carbon pricing, maka biaya eksternalitas yang ditimbulkan oleh energi fosil harus diinternalisasikan. Dengan demikian, maka Energi Baru dan Terbarukan akan dapat bersaing dengan energi fosil.
“Harga yang disampaikan di RUU KUP merupakan harga minimal. Menurut kami seharusnya angka ini tidak masuk di RUU. Tapi secara prinsip, angka tersebut malah terlalu rendah,” tuturnya.
Ia mencontohkan, di Singapore misalnya, pajak karbon saat ini dikenakan sebesar US$ 5 per ton CO2, dan segera akan direvisi, rencananya akan naik menjadi US$ 15 per ton CO2.
“Pemerintah akan menerapkan tarif pajak karbon sebesar Rp 75 ribu per kilogram karbon dioksida ekuivalen atau satuan yang setara. Pajak tersebut dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup,” tandasnya.