Jakarta, Ruangenergi.com – Pakar Migas Prof. Rudi Rubiandini menilai, adanya transisi energi di dunia dari energi fosil yang mulai beralih ke energi terbarukan, belum akan membuat energi fosil tersisih dan masih akan tetap bertahan.
“Saat ini di tahun 2020 energi minyak, gas, dan batubara masih menguasai porsi energi dunia yaitu sebesar 85%. Jadi EBT atau renewable energy memang naik, tetapi energi fosil masih 85 persen,” katanya daat menjadi Trainer dalam OG Indonesia Business Training dengan tema “Pemahaman Kemampuan Migas Indonesia ke Depan” yang dilangsungkan secara daring, Sabtu (14/11/2020).
Menurut Rudi, transisi energi tersebut memang akan terjadi, namun masih akan sulit dan butuh waktu lama bagi energi terbarukan yang saat ini porsinya baru 15% untuk menggerogoti porsi energi fosil yang masih 85%.
“Sekarang saja dengan harga (minyak) turun menjadi semakin sulit minyak digantikan dengan energi yang lain,” kata Rudi.
Walaupun kondisi industri hulu migas dunia tengah sulit, Rudi optimis kegiatan hulu migas tetap berjalan dan tidak akan pernah berhenti. Termasuk di Indonesia, sebab kalau kegiatan hulu migas berhenti maka produksi migas Indonesia akan terjun bebas.
“Hanya dengan pengeboran yang masif akan dapat dipertahankan produksinya.Contohnya PHM (Pertamina Hulu Mahakam), kalau tidak ngebor itu pasti turunnya 20 persen setahun,” tambahnya seraya mengingatkan bahwa kesempatan bagi industri penunjang migas pun dengan demikian masih sangat terbuka,” paparnya.
Rudi berkeyakinan masa depan industri hulu migas masih tetap ada. Dia pun bercerita bahwa pada tahun 1980 sudah dikatakan minyak bumi akan habis dalam waktu 10 tahun.
“Berarti berhenti di tahun 1990, kenyataannya sekarang 40 tahun kemudian malah berlebih. Cadangan dalam 30 tahun terakhir malah meningkat,” bebernya.
Lebih jauh ia mengatakan, saat ini minyak bumi bisa habis dalam 60 tahun ke depan jika terus disedot tanpa penemuan cadangan baru. Tetapi si 60 tahun tersebut akan jadi bertambah bila ada eksplorasi.
“Kapan eksplorasi dilakukan? Kalau harga minyak tinggi. Kapan harga minyak tinggi? Kalau minyak volumenya sudah rendah. Kapan volumenya rendah? Kalau produksinya turun. Kapan produksinya turun? Kalau cadangan dirasa sudah turun. Dan seterusnya setiap 20 tahun akan terjadi seperti itu,” paparnya.
Siklus 20 Tahun
Rudi juga menilai, di tengah rendahnya harga minyak dunia yang saat ini sekitar US$ 40-an per barel, ternyata masa depan industri hulu migas masih ada. Menurut dia, fenomena rendahnya harga minyak dan industrinya yang turun saat ini seperti sebuah siklus yang nanti akan naik kembali.
Namun ia mengungkapkan, kondisi harga minyak yang rendah saat ini akan berimbas terhadap sulitnya perusahaan migas melakukan investasi di hulu migas terutama untuk kegiatan eksplorasi.
“Maka akan terasa dalam 5-10 tahun jumlah minyak akan berkurang, sehingga harga minyak akan naik, dan pada tahun ke-20 minyak akan berlebih lagi,” jelas Rudi Rubiandini.
Ibarat sebuah gelombang, terang Rudi, naik turunnya harga minyak dunia memang akan selalu terjadi setiap 20 tahun sekali. Harga minyak sendiri menurutnya dipengaruhi oleh besar kecilnya cadangan minyak yang ada di dunia. Saat ini bahkan cadangan dunia sedang besar-besarnya.
“Dengan cadangan minyak yang sedang besar tersebut maka tentu akan sangat mudah bagi negara-negara kaya minyak untuk memproduksi minyak. Mudah sekali untuk Saudi Arabia kalau mau naikkan produksi, tambah sejuta barel, tambah dua juta barel. Akibatnya, suplai minyak kemudian membanjiri pasar dunia dan harga minyak pun jatuh,” papar Rudi.
Tetapi setelah melewati masa turunnya harga minyak, lanjut Rudi, harga minyak akan naik kembali. Bahkan saat harga minyak dunia naik kembali maka harganya berpotensi lebih tinggi dibandingkan masa-masa sebelumnya.
“Dulu ada (harga minyak) top 60 (dollar per barel), terus top 70, top 80, nanti bisa juga jadi top 100,” pungkas mantan Wakil Menteri ESDM yang juga pernah menjabat sebagai Kepala SKK Migas ini.(SF)