PLTU Co-Firing

Pembangunan Ratusan Pembangkit Listrik Batubara, Dinilai Mengancam Pemenuhan Target Iklim

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Carbon Tracker merupakan sebuah wadah pemikir nirlaba yang berbasis di London, melaporkan pada Rabu (30/06), bahwa terdapat lima negara Asia yang bertanggung jawab atas 80% pembangkit listrik yang bersumber dari batubara baru yang direncanakan dibangun di seluruh dunia.

Hal tersebut dikatakan oleh Ketua Penelitian Carbon Tracker, Catharina Hillenbrand Von Der Neyen, dikutip dari dw.com, (05/07).

Dalam laporannya, hampir tiga perempat pembangkit listrik berbahan bakar batubara yang beroperasi secara global saat ini ada di lima negara Asia.

Kelima negara itu adalah Cina, India, Indonesia, Jepang dan Vietnam yang menurut laporan tersebut berencana membangun lebih dari 600 pembangkit listrik batubara baru dengan gabungan kapasitas lebih dari 300 Gigawatt (GW).

Pasalnya, rencana pembangunan ratusan pembangkit listrik batubara oleh 5 negara tersebut dinilai akan mengancam pemenuhan target iklim. Untuk itu, Pemerintah didorong untuk meletakkan fondasi bagi sistem energi terbarukan.

Meskipun ada solusi energi terbarukan yang lebih murah, poyek-proyek ini terus dikebut, sehingga dikhawatirkan hal ini akan mengancam upaya pemenuhan target Perjanjian Iklim Paris yang ingin membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius.

“Benteng terakhir kekuatan batu bara ini seakan (berenang melawan arus), padahal ada energi terbarukan yang menawarkan solusi yang lebih murah untuk mendukung target iklim global,” terang Catharina.

Menurutnya, lebih dari setengahnya pembangkit yang akan dibangun berada di Cina. Namun, Carbon Tracker mengatakan sekitar 27% dari pembangkit yang ada itu justru tidak menguntungkan secara ekonomi, sementara 30% lainnya berada di titik break even.

Laporan tersebut juga menyatakan bahwa pembangkit listrik yang bersumber dari batubara senilai US$220 miliar yang ada saat ini berpotensi terbengkalai jika target Perjanjian Iklim Paris tercapai.

“Di tahun 2024 sumber energi terbarukan akan menjadi lebih murah dibanding batubara di setiap wilayah utama. Kemudian, di tahun 2026 biaya untuk mengoperasikan hampir 100% dari pembangkit batubara dunia akan lebih mahal, ketimbang membangun atau mengoperasikan pembangkit listrik menggunakan energi terbarukan,” urai laporan Carbon Tracker.

Batubara Tidak Menguntungkan

Selain itu, Carbon Tracker turut menganalisis transisi global ke energi bersih, dalam laporannya menyebutkan, 92% dari proyek pembangunan pembangkit istrik batubara yang direncanakan di lima negara Asia itu tidak akan menguntungkan secara ekonomi. Sebaliknya, proyek dinilai hanya memboroskan anggaran hingga US$150 miliar.

“Investor harus menghindari proyek-proyek pembangkit lsitrik batubara baru, banyak yang kemungkinan besar akan menghasilkan pengembalian negatif sejak awal,” ungkap Catharina.

Ia mengungkapkan bahwa dari lima negara Asia, Cina menduduki posisi puncak sebagai negara dengan rencana pembangunan pembangkit listrik batubara terbanyak.

Meskipun sebelumnya Presiden Xi Jinping berjanji bahwa Cina akan netral karbon pada tahun 2030. Akan tetapi, Cina justru berencana membangun 368 pembangkit listrik batu bara dengan total kapasitas 187 Gigawatt (GW).

Kemudian, pembangunan pembangkit tersebut disusul Indonesia dengan 107 proyek pembangkit listrik batubaranya. Sementara India yang merupakan negara dengan konsumsi batu bara nomor dua terbesar di dunia, merencanakan 92 proyek dengan total kapasitas 60 Gigawatt, lalu Vietnam 41 proyek dan Jepang 14 proyek.

Catharina Hillenbrand pun menyerukan agar pemerintah di lima negara tersebut menggunakan anggarannya untuk melakukan transisi energi ke arah yang lebih bersih dan berkelanjutan.

“Batubara tidak lagi masuk akal, baik secara finansial maupun lingkungan,” tutupnya.