Jakarta, Ruangenergi.com – Pemerhati Migas, Dina Nurul Fitria, mengapresiasi langkah yang dilakukan PT PGN Tbk, membukukan pendapatan sebesar US$ 2.885,54 juta atau sekitar Rp 42,07 triliun (kurs Rp 14.582) sepanjang di tahun 2020.
Hal itu dikatakan, oleh Pemerhati Migas, Dina Nurul Fitria, dalam sebuah diskusi online yang digelar oleh Energy Watch bersama Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI) dan Situs Energi bertemakan “PGN Rugi Salah Siapa?,” yang di siarkan melalui channel YouTube Ruang Energi, Jumat, (16/04).
Ia melihat walaupun dalam situasi buruk PGN mengalami kerugian karena sengketa pajak, akan tetapi PGN masih berhasil membukukan pendapatan yang cukup besar yakni Rp 42.07 triliun.
Sementara, dalam laporan keuangannya, PGN berhasil mencatatkan laba operasi sebesar US$ 303,71 juta dan EBITDA PGN sebesar US$ 696,85 juta.
“Dan yang paling penting adalah EBITDA, kenapa EBITDA menjadi sorotan saya hari ini, karena EBITDA itu adalah rasio debt service. Artinya EBITDA antara beban bunga dan sebagainya masih positif. Dalam hal ini improvment telah dilakukan oleh internal PGN direksi dan komisaris, termasuk peran pekerja,” kata Dina.
Di mana pencapaian ini diperoleh melalui upaya perusahaan dalam melakukan improvement dan program efisiensi di berbagai proses bisnis yang mampu menurunkan Opex sebesar US$ 180,4 juta atau sekitar Rp 2,6 triliun, jika dibanding tahun 2019.
“Kita perlu apresiasi kepada PGN, dalam hal ini ditengah situasi buruk keuangan karena sengketa pajak masih bisa mempertahankan improvement yang cukup baik di 2020,” jelasnya.
Sementara, untuk rasio debt service (EBITDA/(beban bunga + pokok pinjaman) sebesar 1,3 kali memperlihatkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi pembayar bunga dan pokok pinjaman yang masih mencukupi.
Adapun Rasio Debt to Equity sebesar 51:49 menunjukkan komposisi capital perusahaan dari debt dan equity masih seimbang dan masih lebih rendah dibandingkan loan covenant 70:30 saat ini, sehingga cukup terbuka ruang pendanaan eksternal untuk pengembangan perusahaan.
“Masalah PGN itu sebenarnya lebih kepada pendapatan atau penerimaan dari hasil penjualan gas industri,” ungkapnya.
Disampaikan sebelumnya, adanya kebijakan pemerintah yang menggangu penerimaan dari gas industri PGN ini. Betul sekali, karena ada kebijakan terkait harga gas untuk industri sebesar US$ 6 per mmbtu.
“Aturan itu dimaksudkan karena tidak ingin terjadi disparitas harga industri yang ada di Indonesia dengan harga gas industri yang ada di Singapura. Sebab, disparitas itu akan menyebabkan (rusaknya harga dari pasar gas industri),” bebernya.
Mengenai harga gas untuk industri sebesar US$ 6 ini seharusnya dapat dikoreksi.
“Saya kira PGN sudah melakukan beberapa kali koreksi untuk harga gas tersebut. Menurut saya, penerimaan yang dipatok harga gas sebesar US$ 6 per mmbtu menyebabkan pendapatan yang lain berkurang, itu lah seolah-olah yang membuat ruginya itu cukup membebani keuangan perusahaan,” paparnya.
Sebenarnya PGN dari sisi bisnis sudah menjaga efisiensinya, namun disisi lingkungan kebijakan masih belum mendukung.
“Terakhir PGN melakukan investasi itu di tahun 2007 artinya sudah 14 tahun yang lalu, yakni membangun pipa dari Singapura sampai ke Jawa Barat. Setelah itu belum ada investasi lainnya yang dilakukan PGN, jika pun ada ini baru inisial-inisial project belum final,” jelasnya.
“Yang saya ingin apresiasi juga ke PGN yakni mereka ingin menguatkan kedaulatan energi dari sisi gas melalui pipa. Ada visi yang ambisius yang disebut Trans Asia Gas, jalur pipa gas yang menghubungkan beberapa negara Asia termasuk sampai ekspor,” tuturnya.
Dia menjelaskan, memang situasi ini penting untuk Indonesia karena pipa gas sangat dibutuhkan. Akan tetapi, yang sudah terbangun saat ini pipa gas di bawah laut dan juga include dengan kabel serat optiknya.
“Menurut saya, kabel serat optik ini penting, suatu saat dengan program digitalisasi migas bisa membantu PGN. Namun dari sisi infrastruktur seolah jalan ditempat, apalagi melihat target-target yang cukup ambisius, saya kira dengan mengambil dana dari market (pasar) mestinya infrastruktur PGN bisa terealisir, salah satunya untuk mewujudkan pipa gas Trans Asia bisa dimulai,” tukasnya.
Lebih jauh, ia mengemukakan bahwa, sebenarnya PGN juga telah melakukan pembangunan pipa infrastruktur sepanjang 3,7 kilometer pada Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) Mobile Power Plant (MPP) Sorong.
“Berdasarkan data yang saya terima ada beberapa pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh PGN, hanya saja tidak signifikan. Salah satu penyebab tidak tumbuhnya infrastruktur yang dilakukan PGN yakni harga yang menjadi kendala, terlebih lagi harga gas sebesar US$ 6 per mmbtu sangat memberatkan PGN,” ujarnya.
Menurutnya, gas yang dimiliki Indonesia sangat banyak, hanya saja bagaimana menyalurkan atau memberikan supply kepada end user jika infrastruktur tidak ada.