Jakarta, ruangenergi.com – Pemerintah memiliki rencana akan memperpanjang kontrak izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia (PTFI) di tambang Grasberg, Papua. Meski begitu, pemerintah masih mendiskusikan jangka waktu perpanjangan yang akan ditawarkan.
Diketahui, berdasarkan amanat Undang-Undang No.3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), pemerintah mulai menghentikan ekspor mineral mentah, termasuk konsentrat, pada 10 Juni 2023 mendatang.
Namun sampai Juni 2023 ini, proyek fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) baru Freeport di Manyar, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE Gresik, Jawa Timur, belum tuntas.
Menteri Investasi/Kapala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, rencana perpanjangan tersebut masih dalam tahap diskusi. Akan tetapi, adanya perpanjangan kontrak ini, dipastikan bisa menambah penerimaan negara.
“Pasti (produksi bertambah). Sekarang Freeport produksinya per tahun itu 3 juta ton konsentrat. Dari 3 juta itu, 1,3 juta itu diambil oleh smelter mereka yang lama dan 1,7 juta oleh smelter mereka yang baru,” kata Bahlil kepada awak media, Jumat (28/4).
Bahlil mengatakan, Freeport membutuhkan waktu eksplorasi mulai 10 tahun hingga 15 tahun sebelum melakukan produksi, berbeda dengan eksplorasi nikel dan batubara.
Oleh karena itu, saat ini pemerintah tengah menghitung waktu perpanjangan yang tepat dengan potensi cadangan yang masih ada.
“Jangan sampai pada 2035 produksi menurun, harus terus naik, apalagi kepemilikan saham Indonesia 51% di Freeport. Ke depan dengan negosiasi, kalau tambah 10%, sudah mencapai 60%,” jelasnya.
Selain itu, cadangan produksi yang ada di Freeport saat ini merupakan eksplorasi tahun 90-an. Sehingga jika tidak diperpanjang kontraknya, maka pada 2035 hingga 2040 Freeport dipastikan tutup.
“Kalau dia tutup, siapa yang rugi? Ini Freeport bukan lagi punya Amerika, sekarang punya Indonesia,” tambahnya.Kemudian, kinerja Freeport yang semakin baik setiap tahunnya juga menjadi pertimbangan pemerintah untuk perpanjangan kontrak.
Dengan dividen yang disetorkan kepada BUMN sekitar US$1,3 hingga US$1,4 miliar, maka break even point dari pengambilalihan 51,2% saham Freeport akan terjadi pada 2024.
“Kepemilikan saham kita sekarang 5%, kalau nilai valuasinya US$ 20 miliar, berarti indonesia untung US$ 10 miliar lebih, dikalikan dengan kurs Rp 15.000, Rp 150 triliun. Masa aset begini kita mau matikan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Bahlil mengungkapkan, setidaknya ada dua syarat perpanjangan kontrak tersebut, yakni pemerintah akan menambah 10% saham di Freeport, dan juga meminta agar pembangunan smelter tidak hanya di Gersik, namun juga di Papua.
“Jadi intinya ini bukan kita berikan perpanjangan kepada orang lain, tapi perpanjang diri kita sendiri. Karena ini punya kita, bukan punya orang lain, ini punya pemerintah RI yang dimiliki sahamnya sebesar 51%,” imbuhnya.