Jakarta, Ruangenergi.com – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mampu mengejar bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% hingga 2025.
Hal tersebut sebagaimana komitmen Indonesia dalam amanat Undang-Undang nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement yakni menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada 2030 sesuai NDC (Nationally Determined Contribution).
Dalam sambutannya diskusi Sovereign Wealth Fund, Mewujudkan Pendanaan Berkelanjutan dalam Meningkatkan Ketahanan Energi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, menambahkan, dalam komitmen global Perjanjian Paris tersebut Pemerintah berkomitmen untuk menjaga kenaikan temperatur global tidak melebihi 2 derajat Celcius, dan mengupayakan menjadi 1,5 derajat Celcius.
Kemudian, lanjutnya, komitmen disektor energi, Pemerintah Indonesia berupaya mengurangi emisi GRK sebesar 314-398 juta ton CO2 pada 2030 mendatang, melalui pengembangan EBT, pelaksanaan efisiensi energi dan konservasi energi, serta penerapan teknologi energi bersih.
Maka dari itu, Dadan menjelaskan bahwa PLTS mampu mengejar target 23% EBT dalam bauran energi nasional pada 2025.
“Yang menjadi dorongan kita dalam jangka pendek itu PLTS, karena dari sisi waktu kita mau mengejar target 23% pada 2025,” terang Dadan.
Meski demikian, ada beberapa tantangan dan hambatan dalam mengembangkan efisiensi energi dan transisi ke energi yang lebih bersih seperti halnya PLTS di dalam negeri, salah satunya yakni dari sisi pembiayaan.
“Tantangan yang pertama adalah tarif rendah atau menciptakan iklim investasi yang menarik. Tantangan lain, terkait bunga pinjaman yang tinggi, kemudian persyaratan agunan tinggi, tidak adanya pendanaan proyek, proyek berukuran kecil dan meningkatkan biaya transaksi, serta kapasitas pengembang proyek dan lembaga keuangan masih terbatas,” ungkap Dadan.
Lebih jauh, ia mengatakan, hambatan lainnya yaitu persyaratan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk sektor energi khususnya PLTS. Sebab menurut Dadan, harga komponen lokal lebih tinggi ketimbang produk impor.
Lalu, hambatan byang terakhir dalam pengembangan PLTS yaitu terkait perizinan lahan dan lisensi produknya.