Jakarta, Ruangenergi.com – Tindak kejahatan pencurian (losses) BBM yang terjadi di SPM milik Pertamina di Tuban Jawa Timur pekan lalu bukanlah kejahatan biasa, karena menyangkut obyek vital nasional dan perusahaan negara strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak demi keberlanjutan masa depan pembangunan energi bangsa dan negara.
Hal ini disampaikan Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori dalam diskusi virtual yang diselenggarakan APEI, Jumat (19/3/2021) malam . “Untuk itu, kita mendesak agar kasus ini diusut secara tuntas dan mendukung Kapolri untuk menyelamatkan harta kekayaan (asset) Pertamina dari tindak kejahatan yang luar biasa ini,” kata Defiyan.
“Namun tindak kejahatan pencurian yang diduga dilakukan melalui kerjasama pihak internal Pertamina itu jangan sampai hanya menghukum para pelaku yang hanya melakukan perintah pimpinannya saja tapi hukum juga harus ditegakkan pada atasan yang terlibat supaya aspek keadilan hukum berlaku,” tambahnya.
Menurut Defiyan, kejadian ini juga bukan yang pertama kali bagi Pertamina. Pasalnya, pada Tahun 2018 juga pernah dialami di perairan Jayapura, Papua dan periode-periode sebelumnya seperti kasus Lawe-lawe menunjukkan tidak efektifnya Sistem Pengendalian Manajemen (SPM) Pertamina, baik yang menjadi kewenangan jajaran Direksi maupun Komisaris, sehingga harus ada perbaikan atau perubahannya.
Ia menilai, Pertamina tidak serius mengantisipasi persoalan kehilangan (losses) BBM sehingga potensi pendapatan dan laba organisasi yang seharusnya diperoleh tak dikelola baik.
“Sangat disayangkan, manajemen Pertamina seperti kurang peka dengan persoalan losses, ataukah ada motif lain,” kata akademisi asal Universitas Gajah Mada ini.
Menurut dia, seharusnya pengendalian losses yang telah berjalan baik pada Tahun 2016 lalu melalui PTKAM yang berhasil menekan potensi kehilangan sejumlah Rp 37,38 triliun atau 3 juta KL dengan kinerja yang bagus bagi sektor hulu itu tidak dilanjutkan.
“Jika pembiaran kehilangan (losses) ini didasarkan pada capaian kinerja PTKAM yang berhasil menekannya sebesar 0,13% dan menyelamatkan keuangan perusahaan pada Tahun 2016 sebesar Rp 37,38 triliun, maka selama 4 tahun (sampai Tahun 2020) maka BUMN Holding Migas ini berpotensi melakukan inefisiensi sebesar Rp 149,52 Triliun, bahkan lebih jika kehilangan (losses) yang terjadi antara 2016-2020 di atas 0,13,” paparnya.
Lebih jauh ia mengatakan, bahwa selama ini kinerja Pertamina hanya dinilai dari aspek keuangan dan tanggung jawab sosial, serta kontribusinya pada kas negara saja. Padahal keberhasilan menekan discrepancy juga penting.
“Mempertahankan discrepancy antara 0,1-0,5 disaat kinerjanya telah mencapai 0,2 tidaklah wajar dan tepat, artinya ada ruang kehilangan (losses) yang tetap akan terjadi sebesar 0,3, dan ini tidaklah sesuai dengan yang berlaku pada perusahaan sejenis di negara-negara lain yang telah memberlakukan angka 0,2,” tukasnya.
Terkait pencurian BBM di SPM 150 perairan Tuban ini, menurutnya tidak mungkin dilakukan oleh hanya dua tersangka dan 10 terduga lainnya. Artinya, pihak Manajemen dan Pemilik MT Putra Harapan jelas terlibat, apalagi rencana pencurian ini telah diamati oleh Polairud selama hampir dua bulan.
“Menurut saya, perencanaan kegiatan ini dilakukan secara matang dan pada tahap inilah indikasi adanya keterlibatan berbagai pihak, termasuk jajaran pimpinan Pertamina yang berwenang mengelola SPM Tuban dan mengawasi kinerja para karyawan patut ditelusuri,” pungkasnya.(SF)