Pajak Karbon

Penerapan Pajak Karbon, ICEF : Industri Batubara Butuh Sinyal Lebih Kuat

Jakarta, Ruangenergi.com – Upaya mendukung karbon netral untuk mencapai target net zero emission pada 2060, Pemerintah secara bertahap akan mengurangi penggunaan energi fosil seperti batubara dan menghentikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Selain itu, pemerintah juga akan menerapkan kebijakan pajak karbon yang dihasilkan dari penggunaan energi fosil tersebut. Akan tetapi, kebijakan harga pajak karbon dinilai sangat rendah yakni sekitar US$ 5 per ton CO2.

Anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Widhyawan Prawiraatmadja, dalam sebuah diskusi, Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), mengatakan bahwa industri batubara membutuhkan sinyal yang lebih kuat melalui pajak karbon. Hal tersebut tentunya agar industri batubara tersebut dapat ikut bertransformasi dan mendukung dekarbonisasi sistem energi.

“Konteksnya begini, kita menerapkan pajak karbon US$ 5 per ton. Aktornya akan berpikir kalau gitu dipajakin saja tidak apa-apa (pajak rendah). Jika demikian adanya maka peraturan tersebut sama saja tidak berfungsi. Kecuali kalau seperti di luar (negeri), pajaknya US$ 50 pasti sudah mikir banget mau pake fosil,” jelas Widhyawan.

Solusinya yakni pemerintah akan meningkatkan penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), di mana target yang ditetapkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) penggunaan EBT sebesar 23% di 20205, dan meningkatkan sebesar 31% di 2050.

Menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, integrasi energi terbarukan tersebut perlu didukung dengan solusi untuk mengatasi oversupply dari pembangkit listrik.

Ia mengatakan, kondisi oversupply bisa diatasi bersamaan dengan upaya dekarbonisasi mendalam di sektor industri dan bisnis.

“Solusinya aksi mitigasi bisa dilakukan dengan substitusi energi heating yang menggunakan fosil dialihkan ke penggunaan listrik. Kedua, solusinya adalah dengan PLTS atap justru paling efektif. Data resmi pemerintah pada 2019, dari PLTS ada 186 MW, tapi data di Asosiasi Energi Surya jauh lebih besar, pada 2020-2021 baik yang pipeline dan lengkap itu sampai Juli lalu totalnya ada 480 MW,” kata Fabby.

Fabby Menegaskan, pemerintah perlu membuka kesempatan investasi untuk proyek energi terbarukan.

Dalam kajian IESR menunjukkan bahwa untuk memenuhi target 23% bauran energi terbarukan hingga 2025, investasi yang diperlukan sekitar US$14 miliar hingga US$15 miliar, atau setara dengan Rp 210 triliun.

Sementara itu, untuk mencapai net zero emission, katanya, IESR memperkirakan nilai investasi yang diperlukan hingga 2030 menyentuh US$25 miliar sampai US$30 miliar per tahun, atau sekitar Rp 420 triliun per tahun. Angka tersebut akan lebih tinggi pada 2030–2050, yakni mencapai US$50 miliar hingga US$60 miliar per tahun. Nilai investasi itu termasuk untuk pengembangan teknologi rendah karbon di sektor kelistrikan, transportasi, dan industri.

“Investasi itu juga mencakup pengembangan green hidrogen, serta bahan bakar sintetik untuk sektor transportasi yang tidak dapat dielektrifikasi, seperti pesawat dan kapal,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *