Jakarta, Ruangenergi.com m
Rencana penawaran perdana saham (IPO) subholding Pertamina dinilai sudah sesuai dengan kebutuhan BUMN tersebut sebagai holding, karena harus mengembangkan perusahaan. Apalagi financing internal grup Pertamina, memiliki keterbatasan karena hanya mengandalkan ekuitas grup holding.
Hal ini dikatakan pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto di Jakarta, Senin (22/6). “Go public adalah salah satu cara untuk ekspansi bisnis, yaitu dengan mengambil dana dari publik. Dengan go public, ekspansi akan lebih cepat misalnya untuk eksplorasi sumber-sumber minyak baru,” katanya.
Ia juga menegaskan, bahwa rencana IPO subholding Pertamina itu bukan bentuk penjualan BUMN tersebut, karena IPO subholding sama sekali tidak mengurangi kepemilikan saham negara terhadap Pertamina yang tetap 100 persen.
“Kalau yang IPO subholding-nya itu bukan penjualan namanya, karena kepemilikan negara di Pertamina, tetap. Sama sekali tidak berkurang. Kalaupun subholding Pertamina masuk lantai bursa, maka saham yang ditawarkan kepada publik adalah anak perusahaan,” papar Toto.
Rencana IPO subholding, juga dinilai tidak melanggar aturan, karena yang diatur dalam UU BUMN adalah Pertamina sebagai induknya, begitu juga di UU PT juga begitu. “Sebagai perusahaan, tentu Pertamina bisa melakukan aksi korporasi apapun, sepanjang mengikuti prosedur yang ada,” kata Toto.
Menurut dia, aksi korporasi semacam ini, adalah hal wajar yang biasa dilakukan badan usaha, termasuk BUMN seperti misalnya Waskita Beton serta PP Presisi yang juga go public.
“Tidak hanya itu, sejumlah anak usaha Pertamina juga sudah lama go public, seperti PT Elnusa Tbk, PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia Tbk, bahkan salah satu subholding Pertamina yaitu PT Perusahaan Gas Negara Tbk,” pungkasnya.
Sementara Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menilai bahwa, rencana IPO terhadap sub holding Pertamina di sektor hulu sudah tepat. Pasalnya, melalui IPO, Pertamina bisa mendapatkan pembiayaan tanpa menerbitkan surat utang untuk menggarap blok-blok besar yang membutuhkan biaya ekspansi tidak sedikit.
“Saya melihatnya sebagai langkah strategis bagi Pertamina dalam mencari pendanaan. Apalagi untuk sektor hulu dimana memang membutuhkan biaya yang besar dalam menjalankannya,” ujar Mamit.
Menurut dia, Pertamina sendiri ke depan akan mengelola blok-blok besar, dimana hal itu pasti membutuhkan biaya yang besar. “Dari pada menerbitkan Global Bond atau surat utang luar negeri, lebih naik Pertamina melakukan IPO untuk mendapatkan dana segar,” kata Mamit.
Namun kata dia, konsep IPO yang dimaksud oleh Pertamina belum bisa dipahami betul, apakah dengan konsep partnership atau memang akan melantai di bursa sama seperti PGN dan ELNUSA. “Tapi pada prinsipnya, IPO untuk perusahaan Migas besar bukan sesuatu yang tabu,” ucapnya.
“Dengan IPO bisa mengurangi keinginan Pertamina untuk terus mengeluarkan global bond. Lebih baik menghimpun dana daripada harus berhutang terus,” pungkasnya.
Sebelumnya, Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menegaskan Pertamina tidak berencana untuk menjual atau privatisasi saham Pertamina.
Dia menegaskan bahwa Pertamina adalah BUMN yang 100 persen milik Pemerintah Indonesia. Untuk IPO di Subholding atau anak perusahaan masih perlu kajian yang mendalam, juga proses yang akan sangat panjang.
Terkait restrukturisasi, dia menyatakan sampai saat ini tidak ada perpindahan aset dari Pertamina ke Subholding maupun anak perusahaan sehingga status aset-aset strategis tetap di Pertamina, sebagai contoh kilang.
Begitu pula dengan aset migas yang dikelola Pertamina, tetap dikelola oleh KKKS group Pertamina yang sudah ditunjuk Pemerintah.
Fajriyah memastikan bahwa Pertamina saat ini sedang fokus untuk adaptif, berjuang menghadapi tantangan bisnis ke depan dan memenangkan kompetisi di masa yang penuh ketidakpastian ini.