Jakarta, Ruangenergi.com – Masa depan hulu minyak dan gas di Indonesia sejauh ini dapat dikatakan masih menjadi hal yang menarik untuk terus dikembangkan.
Pasalnya, industri hulu migas masih menjadi penyumbang terbesar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), tercatat hingga kuartal III/2021 sebesar US$ 9,53 miliar atau sebanyak Rp 136,8 Triliun.
Hal tersebut dikatakan oleh Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, saat dihubungi Ruangenergi.com, (11/11).
“Menurut saya industri hulu migas sejauh ini masih menarik, karena industri migas masih memberikan kontribusi yang cukup besar bagi sektor PNBP kita,” ujar Mamit.
Ia menambahkan, meskipun saat ini pemerintah tengah menjalankan program transisi energi, akan tetapi hal itu tidak mengurangi ketergantungan terhadap migas.
“Kita tahu sampai sejauh ini migas itu bukan hanya minyak atau gas nya saja yang dimanfaatkan untuk BBM (Bahan Bakar Minyak), tetapi juga bisa digunakan untuk industri lain dalam hal ini industri petrokimia,” terangnya.
Seperti halnya yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) yang tengah membangun Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR). Menurut Mamit, pembangunan RDMP dan GRR tersebut membutuhkan pasokan gas yang cukup besar, sehingga industri hulu migas dapat dikatakan menjadi penunjang industri lainnya.
“Mereka selalu mengintegrasikan untuk pekerjaan refinery sekaligus petrokimia disana juga, sehingga menjadi lebih terintegrasi,” katanya.
Sebagai negara net importir, tentunya hal ini membutuhkan upaya-upaya dan dukungan dari semua pihak untuk meningkatkan produksi, sehingga hal tersebut tidak akan bergantung pada impor.
“Industri hulu migas saya kira sebagai net importir, di mana konsumsi BBM kita masih jauh lebih tinggi daripada produksi. Maka hal ini dibutuhkan upaya-upaya untuk terus meningkatkan lifting migas nasional,” paparnya.
Selain itu, dalam rangka mengurangi defisit neraca transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) Indonesia, Mamit meminta agar pemerintah terus menggenjot produksi di sektor hulu migas, sehingga nantinya tidak menimbulkan dampak secara ekonomi yang cukup serius.
“Dimana dengan terus kita melakukan impor dalam bentuk dolar (US$) hal itu bisa menekan mata uang kita (Rupiah /Rp),” imbuhnya.
Mamit menegaskan, industri hulu migas belum sampai di titik senja, melainkan masih memegang peranan yang cukup besar untuk meningkatkan pendapatan negara.
“Jadi saya kira industri migas belum mencapai sunset, alias masih prospektif dan juga masih menguntungkan. Oleh karena itu, saya kira perlu ada kebijakan-kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi di sektor hulu migas, salah satunya yakni segera dilaksanakan revisi UU Migas no 22/2021,” bebernya.
Terkait pemberian split atau bagi hasil yang menarik bagi investor, Mamit mengatakan sangat perlu dilakukan dengan adanya kebijakan-kebijakan fiskal dan non fiskal yang bisa menarik dan lebih atraktif sehingga investasi hulu migas bisa terus berkembang.
Selanjutnya, terkait dengan kemudahan perijinan, Mamit menilai, sampai sejauh ini ijin masih cukup sulit didapatkan.
“Mekanisme ijin satu pintu pun (ODSP) One Door Service Policy masih belum berjalan dengan optimal. Selain itu, Masih adanya tumpang tindih lahan di beberapa wilayah terkait dengan kegiatan migas dan perkebunan. Untuk itu saya harap permasalahan perijinan dapat segera terselesaikan,” tutupnya.