Pengamat Nilai Larangan Ekspor Barang Mineral Bisa Paksa Penambang Bangun Hilirisasi

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai larangan ekspor mineral untuk hilirisasi setidaknya punya dua tujuan yaitu meningkatkan nilai tambah di dalam negeri dan mendorong pengembangan ekosistem berbasis KB ke hilir, salah satunya yakni ekosistem kendaraan listri

“Dalam konstitusi disebutkan bahwa kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran pengusaha dan negara barat. Caranya ya dengan melarang ekspor untuk menaikkan nilai tambah tadi dan meningkatkan kemakmuran rakyat,” kata Fahmy di Jakarta, Senin (16/1/2023).

Fahmy Radhi juga meyakini larangan ekspor tembaga akan dapat mendorong pengusaha tambang untuk segera membangun industri pengolahan di dalam negeri. Menurutnya, ketika larangan ekspor diterapkan, pengusaha dipastikan tidak ingin merugi sehingga mereka mau tidak mau akan mengusahakan untuk membangun smelter atau fasilitas pemurnian.

“Begitu (ekspor) dilarang, maka akan bermunculan lah pengusaha atau investor yang bergerak di bidang hilirisasi terutama yang akan diusahakan para perusahaan tambang tadi karena kalau larangan diterapkan, mereka pasti tidak mau rugi, mau tidak mau dipaksa untuk mengusahakan smelter,” paparnya.

Menurut Fahmy, keyakinan tersebut didasarkan pada kasus larangan ekspor bijih nikel yang diterapkan sejak awal 2020 lalu.

“Bahkan, melalui kebijakan hilirisasi tersebut, nilai ekspor nikel tumbuh : lipat dari hanya sekitar 3 miliar dolar AS atau Rp 46,5 triliun (kurs Rp15.500 per dolar AS) pada 2017-2018 menjadi 20,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp 323 triliun pada 2021. Saya kira pengalaman di nikel sudah terbukti,” ujar Fahmi.

Ia juga menilai, keputusan Jokowi untuk melarang ekspor mineral mentah, mulai dari nikel, dan akan berlanjut pada bauksit dan komoditas lainnya termasuk tembaga, merupakan langkah berani, tepat dan strategis dilakukan.

“Meski Presiden tahu akan kalah jika nanti kembali digugat ke WTO soal larangan ekspor, namun langkah tersebut justru tetap dilakukan untuk bisa segera mendorong penciptaan nilai tambah atas kekayaan mineral Indonesia,” tukasnya.

Pasalnya, kata dia, proses gugatan akan memakan waktu sekitar 2 tahun dan jika kalah, proses banding akan memakan waktu hingga sekitar 3 tahun.

“Jokowi tahu pasti akan kalah kalau digugat di WTO. Dia pasti tahu. Tetapi Jokowi memperhitungkan proses pengaduan sampai dengan inkrah putusan itu butuh waktu sekitar 4-5 tahun. Taruh lah 5 tahun, nah dalam waktu 5 tahun ini bisa digunakan untuk mendorong smelter tadi bermunculan,” paparnya lagi.

“Keputusan Presiden melarang ekspor mineral mentah juga sebagai bentuk nasionalisme yang kembali dibangkitkan setelah terkubur di era Soekarno,” pungkasnya.(SF)