Jakarta, Ruangenergi.com – Pemerintah telah memberlakukan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar US$6 per MMBTU sejak tahun 2020 untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing industri nasional melalui pemanfaatan gas bumi dalam bauran energi nasional bagi pembangkit listrik dan industri, serta menjamin pasokan gas bumi dengan harga wajar dan kompetitif.
“Ini merupakan amanat Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dan telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi,” kata Direktur Pembinaan Program Migas Kementrian ESDM, Dwi Anggoro Ismukurnianto disela mengunjungi PT Platinum Ceramic Industry dan PT Asahimas Flat Glass yang berlokasi di Jawa Timur, Selasa (12/7/2022) lalu.
Kunjungan yang dilakukan dia dua perusahaan industri yang mendapatkan insentif untuk mengetahui implementasi kebijakan tersebut juga dihadiri GM PT PGN SOR 3 Edi Armawiria.
Menurut Dwi Anggoro, kedua perusahaan ini merupakan golongan industri yang ditetapkan mendapatkan harga gas bumi tertentu di titik serah pengguna gas bumi (plant gate) sebesar US$6 per MMBTU. Harga gas tersebut berlaku bagi tujuh golongan industri yakni pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet.
“Kita perlu melihat dan mengetahui secara terperinci bagaimana industri penerima HGBT itu bisa memanfaatkan gas yang diberikan untuk peningkatan produksi, multiplier effect, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, realisasi pajak, serta yang tak kalah penting adalah bagaimana industri bisa melakukan penghematan energi, serta mengembangkan investasi baru,” papar pria yang biasa dipanggil Ismu ini.
Dalam perkembangan pelaksanaan kebijakan ini, lanjut Ismu, terdapat usulan tambahan dari 7 golongan tersebut sehingga jumlahnya kini mencapai 240 industri. Dari jumlah tersebut, Pemerintah melakukan evaluasi kinerja industri agar pemanfaatan HGBT dilakukan secara maksimal.
“Pembinaan terhadap industri menjadi wewenang Kementerian Perindustrian. Meski demikian, Kementerian ESDM memiliki tanggung jawab untuk menagih apa yang sudah dihasilkan industri dari pemberian harga gas bumi tertentu,” ujarnya.
Secara umum, lanjut dia, berdasarkan paparan dan diskusi dengan kedua perusahaan tersebut, Ismu menilai pemberian HGBT telah dimanfaatkan dengan baik, serta menimbulkan dampak positif bagi industri, masyarakat sekitar dalam hal penyerapan tenaga kerja dan ekonomi, serta investasi.
“Dua industri ini cukup bagus dapat memaksimalkan HGBT. Perusahaan keramik akan menambah investasi baru tahun ini, demikian pula Asahimas rencananya akan mengusulkan investasi baru tahun 2024,” ungkap Ismu.
Terkait pasokan gas untuk Jawa Timur, Ismu mengakui memang terjadi shortage karena adanya keterlambatan produksi sejumlah lapangan migas. Namun diharapkan kendala ini dapat segera teratasi dengan berproduksinya Lapangan Jambaran Tiung Biru (JTB) dan Husky-CNOOC Madura Limited (HCML).
“Mudah-mudahan JTB dan HMCL segera berproduksi tahun 2022 sehingga masalah kekurangan gas di Jawa Timur ini dapat teratasi,” tutup Ismu.
Sementara CEO PT Platinum Ceramic Industry Liem May Tjoe mengapresiasi kebijakan Pemerintah dengan memberikan harga gas sebesar US$6 per MMBTU bagi industri keramik agar mampu bersaing dengan perusahaan luar negeri.
“Kepmen harga gas ini sangat membantu dan membuat kita lebih bisa bersaing dan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dengan lebih baik lagi karena dengan harga gas yang mahal, kita tidak bisa harga yang terbaik untuk konsumen keramik di Indonesia,” jelasnya.
Sebelum adanya aturan tersebut, kata dia, untuk mengembangkan industri keramik sangat berat dan tidak dapat melakukan investasi baru. Namun dengan adanya HGBT, perusahaannya dapat melakukan inovasi-inovasi, efisiensi energi dengan menggunakan mesin yang hemat energi, serta efisiensi energi.
“Kami juga mendukung program Pemerintah yaitu efisiensi energi melalui penggunaan PLTS dengan daya sebesar 8,4 Mwp dan merupakan pengguna untuk pabrik keramik terbesar di Indonesia,” ujarnya.
“Selain itu, penggunaan teknologi heat recovery di mesin produksi dengan penghematan minimal 10%, serta inevstasi yang dilakukan di mesin produksi yaitu Kiln dan Horizontal Drier dengan teknologi terkini untuk efisiensi penggunaan energi gas minimal 15%,” lanjut Liem.
Apresiasi serupa juga diungkapkan Direktur PT Asahimas Flat Glass Teguh Ari Widodo, atas insentif yang diberikan Pemerintah. Dukungan itu dirasakan sangat membantu, apalagi mereka mendapatkannya ketika kondisi pandemi Covid-19.
“Kami mendapatkan HGBT di tengah kondisi pandemi dan ekonomi lesu. Support Pemerintah ini sangat berarti bagi kami dan saat ini seiring pandemi mulai mereda, kondisi penjualan kaca mulai membaik,” jelasnya.
Asahimas, kata Ari Widodo, mengharapkan agar insentif ini dapat berkelanjutan karena di tengah kompetisi global, biaya energi juga perlu mendapat dukungan Pemerintah.
“Kita juga berencana melakukan investasi baru di tahun 2024 dengan meningkatkan kapasitas produksi dan diharapkan Pemerintah dapat menjamin kestabilan pasokan gas,” pungkasnya.(Red)